Laman

Selasa, 02 Februari 2010

pengaruh kedalaman tanah terhadap pertumbuhan gulma

PENGARUH KEDALAMAN TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA


Junita Sinambela/070301054
Mahasiswi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.


ABSTRAK

Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl, pada tanggal 19 November 2009. Percobaan ini bertujuan untuk mencatat kemampuan sejumlah gulma untuk muncul dari kedalaman yang berbeda-beda. Percobaan tersebut menggunakan 2 faktor perlakuan yaitu faktor 1 adalah jenis gulma S1 Amaranthuss sp., S2 Asystasia intrusa. Sedangkan faktor kedua adalah K. K1 0 cm, K2 1 cm, K3 5 cm, K4 15 cm. Dari percobaan diperoleh bahwa gulma yang banyak tumbuh adalah pada kedalaman 15 cm yaitu jenis gulma Amaranthus sp..

Kunci : perkecambahan, kedalaman tanah, gulma

PENDAHULUAN

Biji-biji gulma mengalami dormansi sekunder mampu berkecambah setelah dibawa kepermukaan tanah. Bila dormansi diperpanjang waktunya akan mengalami imbibisi sehingga jaringan embrio menjadi rusak. Dalam biji terimbibisi ini daya perkecambahan biji masih tetap tinggi (Tjitrosoedirdjo, dkk., 1984).

Kedalaman pembenaman tidak selalu berpengaruh pada lamanya hidup biji. Setelah pembenaman sekitar 5 tahun, bij-biji gulma yang masih viabel seperti Sorghum halepense: 48%, Abutilin theophrasti: 30%, Ipomea turbinata: 33%, Anoda cristata: 30%, Sesbania exaltata: 18% dan Ipomea lacunosa: 13% (Moenandir, 1993).

Untuk mengidentifikasi semai, tanda-tanda karakteristik yang dapat dipakai misalnya: a) ukuran, warna, permukaan hipokotil (bagian batang yang terletak di bawah kotiledon); b) ukuran, warna, permukaan epikotil (bagian batang yang terletak di atas kotiledon); c) jumlah, bentuk, ukuran, warna, tekstur dan pertulangan kotiledon. Bentuk kotiledon ini sangat bervariasi, sehingga kadang-kadang disiri sebagai tanda kearah suku. Misalnya pada Convolvulaceae, ujung kotiledon selalu terbelah, pada leguminosa kotiledon biasanya tebal karena banyak mengandung cadangan makanan; d) jumlah, bentuk, ukuran, warna, tekstur dan pertulangan daun pertama kadang-kadang dapat tidak sama dengan daun pada gulma yang telah dewasa; e) biji yang tetap melekat pada semai. Hal ini umum dijumpai pada gulma dari golongan teki; f) adanya daun penumpu atau okrea seperti pada gulma dewasa (Tjitrosoedirdjo, dkk., 1984).

Faktor tanah yang turut menentukan distribusi gulma antara lain : kelembaban tanah, aerasi, pH tanah, unsur-unsur makanan dalam tanah dan lain-lain. Umumnya gulma mempunyai kemampuan bersaing yang cukup baik pada semua mcam tipe tanah. Kondisi cadangan biji juga tergantung pada dormansi dan lama biji tersebut tahan terdapat dalam tanah (Sukman dan Yakup, 1995).

BAHAN DAN METODE

Percobaan ini menggunakan polibag sebagai media tanam, topsoil sebagai media tanam, benih Asystasia intrusa dan Amaranthus sp. sebagai objek pengamatan, label untuk menandai polibag. Dalam percobaan ini polibag diisi ¾ topsoil dan benih tersebut diletakkan diatasnya sesuai dengan perlakuan dan diberi label untuk menandai perlakuan serta ulangannya. Diamati gulma apa saja yang tumbuh setiap hari sampai pengamatan terakhir dan dicatat datanya.







HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Data Pertumbuhan Kecambah Gulma Amaranthus sp. Dan Asystasia intrussa

Nama Gulma Perlakuan
S1K0 S1K1 S1K2 S1K3 S1K4
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Amaranthus sp. 10 5 10 6 3 4 - 3 - 6 5 5 10 14 16
25 13 3 16 40


Nama Gulma Perlakuan
S2K0 S2K1 S2K2 S2K3 S2K4
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Asystasia intrussa. 5 8 7 1 2 3 - 2 - - 1 2 2 1 1
20 6 2 - 4


Pembahasan

Dari hasil percobaan dapat dilihat pada data, ada gulma yang tidak dapat tumbuh pada suatu kedalaman. Hal ini mungkin disebabkan karena beberapa faktor yaitu dari benih tersebut yang sudah ketuaan, atau karena faktor lingkungan. Hal ini sesuai dengan literatur dari Tjitrosoedirjdo, dkk. (1984) yang menyatakan bahwa biji-biji gulma mengalami dormansi sekunder mampu berkecambah setelah dibawa kepermukaan tanah.

Dari hasil percobaan dapat dilihat pada data bahwa benih Amaranthus sp. lebih dominan pada setiap kedalaman tanah dari pada Asystasia intrusa. Hal ini dikarenakan benih Amaranthus sp. memilki ketahanan untuk bertahan hidup pada setiap kedalaman tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Sukman dan Yakup (1991) yang menyatakan bahwa kondisi cadangan biji juga tergantung pada dormansi dan lama biji tersebut tahan terdapat dalam tanah.



Grafik Pertumbuhan Kecambah Gulma Amaranthus sp. Dan Asystasia intrussa



KESIMPULAN

1. Benih gulma yang paling banyak tumbuh adalah Amaranthus sp pada kedalaman 15 cm yaitu 40.
2. Benih gulma Asystasia intrusa paling banyak tumbuh pada kedalaman 0 cm sebesar 20.
DAFTAR PUSTAKA

Moenandir, J., 1993. Ilmu Gulma Dalam sistem Pertanian Dalam Sistem Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sukman, Y., dan Yakup., 1995, Gulma dan Teknik Pengendaliannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmodjo, 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT. Gramedia, Jakarta.

weed seed bank pada lahan yang berbeda

WEED SEED BANK PADA LAHAN YANG BERBEDA

Junita Sinambela/070301054
Mahasiswi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.


ABSTRAK
Percobaan dilakukan dilahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat 25 m diatas permukaan laut. Percobaan ini bertujuan untuk memperkirakan ukuran, komposisi dan distribusi vertical seed bank yang dicobakan. Percobaan tersebut menggunakan tanah dari empat lokasi yang berbeda, yaitu tanah dari lahan tanaman jagung, tanah dari lahan tanaman ubi kayu, tanah dari lahan kelapa sawit, dan tanah tanpa tanaman di pinggir jalan. Dari percobaan diperoleh bahwa seed bank yang tumbuh adalah gulma Phylanthus niruri, Cyperus rotundus, Ageratum conyzoides, Cleome rutidosperma, Paspalum conjugatum, Asystasia intrusa, dan Cyperus kyllingia.

Kata kunci : cadangan biji, tanah, biji gulma

PENDAHULUAN
Biji gulma yang berada di dalam tanah, dalam waktu tertentu atau setelah terjadi pematahan dormansi, dapat berkecambah. Perkecambahan itu dapat terjadi selama biji tersebut sudah tidak akan berkecambah lagi setelah biji mengalami senesensi. Perkecambahan biji gulma ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, ialah faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam inilah merupakan sifat yang dipunyainya secara menurun (genetis) misalnya lama dormansi oleh karena tebalnya kulit biji, vigor, viabilitas, dan lain-lain (Moenandir, 1993).

Perkembangan gulma sangat cepat dan mudah, baik secara genetatif maupun vegetatif. Secara generatif, biji-biji gulma yang halus, ringan, dan berjumlah sangat banyak disebarkan oleh angin, air, hewan, maupun manusia. Perkembangbiakan secara vegetatif terjadi karena bagian batang yang berada di bagian tanah akan membentuk tunas yang nantinya akan membentuk tumbuhan baru. Demikian juga, bagian akar tanaman, misalnya stolon, rhizoma, dan umbi, akan bertunas dan membentuk tumbuhan baru jika terpotong-potong (Barus, 2003).

Rotasi tanaman memungkinkan mempunyai dampak kecil terhadap jumlah total biji dan alat biak vegetatif dalam tanah kecuali jika tanaman tersebut bebas gulma setiap saat. Kondisi cadangan biji juga tergantung pada dormansi dan lama biji tersebut tahan hidup (longevity) dalam tanah ( Sukman dan Yakup, 1992).

BAHAN DAN METODE
Percobaan ini menggunakan polibag sebagai wadah media tanam, tanah top soil sebagai media tanam, tanah lahan jagung, lahan ubi kayu, lahan kelapa sawit dan tanah pinggir jalan sebagai objek pengamatan, pipa besi berdiameter 11 cm untuk alat mengambil tanah seed bank, label untuk menandai polibag.
Pada percobaan, polibag diisi tanah dengan kedalaman tanah sampel berbeda, yaitu 0-2 cm, 2-5 cm dan 5-10 cm dan dibuat dengan tiga ulangan. Data diambil dengan melihat jenis dan jumlah gulma yang tumbuh pada tiap polibag, lalu gulma tersebut dicabut dan diulangi pengambilan data lagi pada minggu selanjutnya. Dihitung Kerapatan Mutlak (KM). Kerapatan Nisbi (KN), Frekuensi Mutlak (FM), Frekuensi Nisbi (FN), dan Nilai dominansi (NJD) dengan rumus :



HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tabel 1. Seed bank pada tanah jagung

Nama Gulma Tanah Jagung Total
0 – 2 cm 2 – 5 cm 5 – 10 cm
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Phyllanthus niruri 1 1 - 1 - 1 4 - 3 11
Cyperus rotundus 11 25 1 10 7 11 15 3 7 90
Ageratum conyzoides - - - 5 9 6 - - 2 22
Cleome rutidosperma 6 1 1 - - - 4 - 3 15
Paspalum conjugatum 10 5 7 - - - - - - 22
Asystasia intrussa - - - - - - 1 - - 1
Cyperus kyllingia - 1 - - 1 - - - - 2

Tabel 2. Seed bank pada tanah ubi kayu

Nama Gulma Tanah Ubi Kayu Total
0 – 2 cm 2 – 5 cm 5 – 10 cm
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Phyllanthus niruri 4 - 1 - - - 1 2 - 8
Cyperus rotundus - - - - 1 3 9 3 2 18
Ageratum conyzoides 5 - 3 3 3 7 3 - 1 25
Cleome rutidosperma 9 4 8 - - - - 4 - 25
Paspalum conjugatum 6 6 6 - - - 2 - 1 21
Asystasia intrussa - - - - - - - - 1 1
Cyperus kyllingia 3 - - - - 4 3 - 1 11

Tabel 3. Seed bank pada tanah kelapa sawit

Nama Gulma Tanah Kelapa Sawit Total
0 – 2 cm 2 – 5 cm 5 – 10 cm
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Phyllanthus niruri 1 - 4 10 3 5 3 - - 26
Cyperus rotundus - - - - - - - 4 - 4
Ageratum conyzoides 1 2 - 8 2 - 3 - - 16
Cleome rutidosperma - - - 4 5 3 5 1 3 21
Paspalum conjugatum - - - 2 5 1 - 3 - 11
Asystasia intrussa - 1 - - - - - - - 1
Cyperus kyllingia 2 - 1 4 - 5 2 - 1 15

Tabel 4. Seed bank pada tanah pinggir jalan

Nama Gulma Tanah Pinggir Jalan Total
0 – 2 cm 2 – 5 cm
1 2 3 1 2 3
Phyllanthus niruri 6 3 - 4 - 4 17
Cyperus rotundus - - 1 - 2 - 3
Ageratum conyzoides - 1 - - - - 1
Cleome rutidosperma 3 - 2 - - 3 8
Paspalum conjugatum - - 1 1 - - 2
Cyperus kyllingia - 1 - - - 1 2

Pembahasan
Dari hasil percobaan didapat bahwa gulma Cyperus rotundus mendominasi hampir seluruh gulma di areal tanah jagung. Cyperus berkembang dapat melalui biji dan bagian vegetatifnya. Bagian vegetatif ini akan dengan cepat mengembangkan teki sehingga penyebarannya dapat cepat terjadi.hal ini sesuai literatur Barus (2003) Perkembangan gulma sangat cepat dan mudah, baik secara genetatif maupun vegetatif. Perkembangbiakan secara vegetatif terjadi karena bagian batang yang berada di bagian tanah akan membentuk tunas yang nantinya akan membentuk tumbuhan baru.

Dari percobaan dapat dilihat bahwa jumlah seed bank yang paling sedikit adalah pada Asystasia intrusa. Bahkan pada tanah dipinggir jalan yang tidak ada dijumpai tumbuhan ini, Asystasia intrusa tidak menjadi salah satu jenis gulma di tanah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa biji Asystasia memiliki masa dormansi yang panjang (lama). Hal ini sesuai dengan literatur Moenandir (1993) yang menyatakan bahwa perkecambahan biji gulma ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, ialah faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam inilah merupakan sifat yang dipunyainya secara menurun (genetis) misalnya lama dormansi oleh karena tebalnya kulit biji, vigor, viabilitas, dan lain-lain.

KESIMPULAN
1. Pada tanah jagung, total gulma yang paling banyak tumbuh adalah Cyperus rotundus sebanyak 90 dan yang paling sedikit tumbuh adalah gulma Asystasia intrussa sebanyak 1.
2. Pada tanah ubi kayu, total gulma yang paling banyak tumbuh adalah Ageratum conyzoides dan Cleome rutidosperma sebanyak 25 dan yang paling sedikit tumbuh adalah gulma Asystasia intrussa sebanyak 1.
3. Pada tanah kelapa sawit, total gulma yang paling banyak tumbuh adalah gulma Phyllanthus niruri sebanyak 26 dan yang paling sedikit tumbuh adalah gulma Asystasia intrussa sebanyak 1.
4. Pada tanah pinggir jalan, total gulma yang paling banyak tumbuh adalah Phyllanthus niruri sebanyak 17 dan yang paling sedikit tumbuh adalah gulma Ageratum conyzoides sebanyak 1.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, E., 2003. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius, Yogyakarta.

Moenandir, J., 1993. Ilmu Gulma Dalam Sistem Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sukman., Y dan Yakup, 1992. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Rajawali Press, Jakarta.

kemampuan bersaing kacang kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap gulma bayam (Amaranthus sp.)

KEMAMPUAN BERSAING KACANG KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) TERHADAP GULMA BAYAM (Amaranthus sp.)


Junita Sinambela/070301054
Mahasiswi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.


ABSTRAK

Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ±25 m dpl. Percobaan ini dilaksanakan mulai 6 November 2009 sampai 18 November 2009. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh persaingan gulma bayam terhadap pertumbuhan vegetatif kedelai. Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Kelompok non Faktorial. Yang terdiri dari satu perlakuan yaitu populasi bervariasi dan tiga ulangan. Perlakuan yang digunakan perbandingan populasi kedelai dan bayam yaitu 30:0; 20:10; 10:20; dan 0:30. Dalam percobaan ini diperoleh total bobot segar setelah 5 MST kedelai dan bayam dengan 3 ulangan pada perlakuan 30:0 yaitu 580 g, perlakuan 20:10 yaitu 550 g, perlakuan 10:20 yaitu 410 g, dan perlakuan 0:30 yaitu 525 g.

Kata kunci : Kemampuan bersaing, kedelai, bayam.
PENDAHULUAN

Beberapa faktor yang mengakibatkan kompetisi adalah faktor pertama yang mengakibatkan kompetisi adalah kehadiran suatu individu atau kelompok tanaman lain. Faktor kedua adalah kuantitas faktor pertumbuhan yang tersedia dan kompetisi terjadi apabila ketersediaan faktor pertumbuhan terbatas. Tetapi ini perlu diingat bahwa kompetisi dapat terjadi tidak hanya diantara tanaman baik dari varietas atau spesies yang sama atau berbeda, tetapi juga dintara organ dari tanaman yang sama. Karena kebutuhan tanaman akan jenis unsur hara dan air dapat berbeda diantara jenis faktor tersebut untuk suatu kombinasi jenis tanaman. Perbedaan intensitas kompetisi untuk suatu jenis faktor ini juga dapat terjadi antara umur tanaman karena tingkat kebutuhan yang berbeda dengan waktu sesuai dengan perkembangan tanaman (Moenandir, 1993).

Persaingan atau kompetisi berasal dari kata competere yang berarti mencari atau mengejar sesuatu yang secara bersamaan diperlukan oleh lebih dari satu pencari. Persaingan timbul dari 3 reaksi tanaman pada faktor fisik dan pengaruh faktor yang dimodifikasi pada pesaing-pesaingnya. Dua tanaman meskipun tumbuh berdekatan tidak akan saling bersaing bila bahan yang diperebutkan jumlahnya berlebihan. Bila salah satu bahan yang berlebihan itu berkurang maka persaingan akan timbul, sehingga istilah persaingan menerangkan kejadian yang menjurus pada hambtan pertumbuhan tanaman yang timbul dari asosiasi lebih dari satu tanaman dan tumbuhan lain (Triharso, 1996).

Baik gulma maupun tanaman mempunyai kebutuhan yang sama akan kebutuhan hidupnya persaingan interspesifik terjadi antar spesies tumbuhan yang berbeda, sedangkan persaingan antar spesies tumbuhan yang sama merupakan persaingan intra spesifik (Sukman dan Yakup, 1991).

Persaingan antar tanaman yang berbeda spicies (inter species competition) dan persaingan intra tanaman yang sedang bersaingan melatarbelakangi persaingn antar tanaman budidaya dan gulma. Untuk mengukur kemampuan bersaing antara gulma dan tanaman budidaya secara mendasar, pertama kali haruslah menentukan masing-masing jenis persaingan tersebut. Dalam hal ini diperlukan suatu pengertian analisa pertumbuhan tanaman. Penurunan LAI berat kering dan RGR suatu tanaman akibat persaingan dengan gulma sangat penting dalam menunjukkan hal ini (Moenandir, 1993).

BAHAN DAN METODE

Percobaan ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, yang dilaksanakan mulai 6 November 2009 sampai 18 November 2009. Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah benih kedelai (Glycine max (L.) Merill.) dan benih bayam (Amaranthus sp.) sebagai objek pengamatan, top soil sebagai media tanam, kotak triplex untuk tempat menanam.
.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak kelompok Non Faktorial. Perlakuan yang dipakai adalah perbandingan populasi kedelai dan bayam yaitu 30:0; 20:10; 10:20; dan 0:30. Ditanam benih kacang kedelai dan bayam dengan populasi yang berbeda-beda sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. Dilakukajn penjarangan jika jumlah populasi berlebih dari perlakuan dan dilakukan penyulaman jika populasi tidak mencukupi perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Bobot segar setelah 5 MST (gr)

Perlakuan Ulangan ∑ X
1 2 3
K0 75 50 60 185 60,67
K1 95 30 55 175 58.33
K2 25 35 45 105 35
K3 65 35 30 130 43,33
K4 35 20 30 85 28,33

SK db Jk KT F f .01
Blok 2 1453,33 726,66 0,895 3,11
Perlakuan 4 69173,3 17293,3 21,29 2,81
Error 8 6495,33 811,92 - -
Total 14 5673,33 - - -


Pembahasan
Dari percobaan didapatkan bobot kering Glycine max pada perlakuan 30:0 lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan 20:10. Pada perlakuan 20:10 gulma Amaranthus sp lebih banyak dibandingkan pada perlakuan 30:0 dan ternyata bobot basah setelah 5 MST Glycine max lebih besar pada perlakuan pada perlakuan 30:0. Hal ini disebabkan pada perlakuan 30:0 persaingan intersfesifik Glycine max lebih sedikit dibandingkan pada perlakuan 20:10 yang lebih banyak populasinya. Hal ini sesuai dengan literatur Sukman dan Yakup (1991), baik gulma maupun tanaman mempunyai kebutuhan yang sama akan kebutuhan hidupnya persaingan interspesifik terjadi antar spesies tumbuhan yang berbeda, sedangkan persaingan antar spesies tumbuhan yang sama merupakan persaingan intraspesifik.
Dari percobaan diperoleh bahwa bobot segar setelah 5 MST terendah terdapat pada perlakuan K4, yaitu 0 kedelai dan 30 bayam. Hal ini terjadi karena tanaman yang ada hanya 1 jenis saja sehingga semua hara yang terdapat didalam tanah diserap terus-menerus yang mengakibatkan lama- kelamaan akan habis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moenandir (1993) bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kompetisi adalah faktor pertama yang mengakibatkan kompetisi adalah kehadiran suatu individu atau kelompok tanaman lain. Faktor kedua adalah kuantitas faktor pertumbuhan yang tersedia dan kompetisi terjadi apabila ketersediaan faktor pertumbuhan terbatas. Karena kebutuhan tanaman akan jenis unsur hara dan air dapat berbeda diantara jenis faktor tersebut untuk suatu kombinasi jenis tanaman. Perbedaan intensitas kompetisi untuk suatu jenis faktor ini juga dapat terjadi antara umur tanaman karena tingkat kebutuhan yang berbeda dengan waktu sesuai dengan perkembangan tanaman.

KESIMPULAN
1. Gulma bayam dapat mempengaruhi pertumbuhan dari tanaman kedelai jika jumlahnya menyaingi jumlah tanaman kedelai.
2. Pada media yang ditanam Glycine max tanpa adanya gulma bayam maka hasil bobot basahnya lebih besar.
3. Kerapatan gulma dapat menyebabkan penurunan hasil dari suatu tanaman utama.

DAFTAR PUSTAKA

Moenandir, J., 1993. Ilmu Gulma Dalam Sistem Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sukman, Y. dan Yakup, 1995. Gulma dan Tehnik Pengendaliannya. Rajawali Press, Jakarta.

Triharso, 1996. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. UGM-Press, Yogyakarta.

periode kritis persaingan kedelai (Glicine max) terhadap gulma bayam (Amaranthus sp.)

PERIODE KRITIS PERSAINGAN KEDELAI (Glycine max (L.)Merill) TERHADAP GULMA BAYAM (Amaranthus sp.)


Junita Sinambela/070301054
Mahasiswi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

ABSTRAK
Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ±25 m dpl. Percobaan ini dilaksanakan mulai 6 November 2009 sampai 18 November 2009. Percobaan ini bertujuan untuk menyelidiki periode kritis persaingan tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill.) terhadap bayam (Amaranthus sp.). Benih kedelai di tabur pada setiap kotak dengan jumlah 20 benih masing-masing kotak 3 ulangan, dan benih Amaranthus sp. di tebar pada masing-masing kotak dengan jumlah benih berbeda-beda empat perlakuan dan 1 perlakuan tanpa gulma sebagai pembanding masing-masing perlakuan adalah P0, P1, P2, P3 . Hasil diperoleh bahwa bobot segar kedelai tertinggi pada plot bebas gulma.

Kata kunci: periode kritis, perlakuan, bobot segar

PENDAHULUAN
Persaingan atau kompetisi adalah suatu corak interaksi antara dua pihak organisme yang memperebutkan faktor kehidupan yang sama. Persaingan terjadi apabila sejumlah organisme (baik dari jenis yang sama maupun berbeda) membutuhkan/menggunakan faktor-faktor kehidupan yang sama dan faktor-faktor kehidupan tersebut tidak cukup tersedia di dalam lingkungan (Nasution, 1986).

Hadirnya gulma pada periode permulaan siklus hidup tanaman dan pada periode menjelang panen tidak berpengaruh atau hanya berpengaruh kecil terhadap produksi tanaman. Akan tetapi antara dua periode tersebut tanaman peka terhadap gulma. Periode kritis prinsipnya merupakan saat sutau periode pertanaman berada pada kondisi yang peka terhadap lingkungan terutama unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh. Pada periode kritis tersebut maka tanaman akan kalah bersaing dalam hal penggunaan unsur-unsur yang diperlukan untuk pertumbuhannya sehingga pertumbuhan tanaman terhambat, yang akhirnya akan menurunkan produksi tanaman (Sukman dan Yakup, 2002).

Persaingan untuk nutrisi antar tanaman dan gulma tergantung pada kadar nutrisi yang terkandung dalam tanah dan tersedia bagi keduanya dan tergantung pada pula pada kemampuan kedua tanaman dan gulma menarik masuk ion-ion nutrisi tersebut. Kemampuan serta kecepatan menarik ion-ion ke dalam tubuh tanaman tergantung pada sifat alamiah masing-masing tumbuhan (Moenandir, 1993).

Periode kritis untuk persaingan gulma pada setiap pertanaman dipengaruhi oleh umur, kemampuan tanaman untuk bersaing, serta jumlah dan macam spesies gulma yang berasosiasi. Pengetahuan periode kritis untuk persaingan gulma sangat penting artinya dalam usaha mencapai efisiensi tindakan pengendalian gulma (Sukman dan Yakup, 2002).

BAHAN DAN METODE
Percobaan ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, dimulai tanggal 6 November 2009 sampai 18 November 2009. Bahan percobaan yang digunakan sebagai objek percobaan adalah kedelai (Glycine max) di tebarkan pada box dengan 3 ulangan masing-masing 20 benih. Dan gulma yang di gunakan adalah bayam (Amaranthus sp.). Benih bayam di tebar pada box 0,100,100,100. Boks terbuat dari kayu berbentuk balok dengan panjang 120 cm, lebar 50 cm dan tinggi 20 cm. Masing-masing box diisi dengan tanah top soil.
Perlakuan masing-masing di kombinasikan dengan 3 ulangan pada setiap plot sehingga di dapat kombinasi sebagai berikut U1P0, U1P1, U1P2, U1P3, U2P0, U2P1, U2P2, U2P3, U3P0, U3P1, U3P2, U3P3. Kedua belas box ini diisi dengan pasir dan di beri perlakuan sesuai prosedur di atas.
Untuk menentukan priode keritis tersebut maka bobot segar kedelai di timbang setelah kurang lebih 5 MST. Masing masing akar di timbang dan di catat sesuai perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Bobot segar setelah 5 MST (gr)

Perlakuan ulangan

X
1 2 3
P0 200 210 180 590 196.67
P1 200 150 200 550 183.33
P2 150 70 190 410 136.67
P3 170 175 180 525 175
Tabel sidik ragam
SK Db JK KT F f .01
Blok 2 49256.25 24628.13 0.004 tn 5.14
Perlakuan 3 3204222.92 1068074 1.98 tn 4.26
Error 6 3220723.17 536787.1 - -
Total 11 32706.25 - - -


Pembahasan
Hasil tanaman utama kedelai (Glicine max) untuk mentolerir periode kritis terhadap persaingan beberapa jumlah gulma menunjukan hasil yang tidak nyata itu artinya semakin sedikit jumlah gulma yang bersaing dengan tanaman utama saat periode kritis menunjukan hasil yang signifikan yaitu pada boks yang berisi 20 benih kedelai dan 40 benih bayam hasil dari grafik dapat di lihat bobot basah kedelai mengalami penurunan sehingga hasilnya sebesar 30% yaitu pada perlakuan P2. Hal ini disebabkan karena hadirnya gulma pada periode permulaan siklus hidup tanaman pada periode menjelang panen hanya berpengaruh kecil terhadap pertumbuhan tanaman. Periode kritis terjadi karena tanaman berada pada kondisi kondisi yang peka terhadap lingkungan. Persaingan gulma selama 6 MST pertama segera setelah penanaman mempunyai pengaruh besar terhadap penurunan produksi periode kritis persaingan gulma terjadi pada 25-33% pertama dari siklus hidup tanaman. Periode kritis persaingan terjadi pada sepertiga sampai setengah pertama umur tanaman. Periode kritis persaingan gulma bervariasi periode yang sangat kritis untuk persaingan gulma adalah satu bulan pertama setelah pertanaman.

Sedangkan hasil tanaman utama kedelai (Glicine max) untuk mentolerir periode kritis tanpa persaingan jumlah beberapa gulma menunjukan hasil yang tidak nyata itu artinya hasil tanaman bebas gulma menunjukan hasil yang signifikan pada perlakuan P3 yaitu mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena tanaman bebas gulma memiliki kecepatan tumbuh yang amat tinggi. Hasil tanaman bebas gulma tanpa pengendalian di awal pertumbuhan kemungkinan hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil tanaman di akhir pengendalian.

KESIMPULAN
1. Bobot segar kedelai tertinggi terdapat pada plot bebas gulma, dengan nilai rata-rata 196,67 g.
2. Perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap periode kritis kedelai terhadap bayam.
3. Bobot segar terendah terdapat pada perlakuan P2 dengan rataan 136,67 g.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution, U., 1986. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. Pusat Penelitian & Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa, Tanjung Morawa.

Moenandir, J., 1993. Ilmu Gulma Dalam Sistem Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sukman, Y. dan Yakup, 1995. Gulma dan Teknik Pengendalianya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

teknik aplikasi herbisida

TEKNIK APLIKASI HERBISIDA

Junita Sinambela/070301054
Mahasiswi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.



ABSTRAK
Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada ketinggian tempat 25 m dpl. Percobaan ini bertujuan umtuk mengukur aplikasi perlakuan herbisida yang seragam pada suatu areal, sehingga diperoloh hasil pengendalian yang efektif dan efisien. Percobaan ini menggunakan air, dan knapsock. Luas areal yang dikalibrasikan panjangnya16,25 m dan lebar 1,95 m dengan volume awal 10 liter/ha. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa air yang digunakan untuk luas areal tersebut 2,5 liter/ha dan volume yang diperlukan sebanyak 788,892 lite/hr, volume semprot untuk dosis herbisida 2 liter/ha sebanyak 788,8983 liter/ha dan untuk volume semprot dengan dosis herbisida 3 liter/ha sebanyak 788,8995 liter/ha.

Kata Kunci: kalibrasi, air, volume semprot

PENDAHULUAN
Pengendalian gulma dewasa ini di Indonesia cukup berkembang disbanding pemanfaatan sumber daya dan eradikasi gulma itu sendiri. Cara pengendalian dapat dilakukan secara fisik (manual, mekanis, pemanfaatan dan kultur teknis), biologi dan kimia (herbisida). Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida sudah banyak diterapkan di lapangan baik pada budidaya komoditas tanaman perkebunandan industri maupun tanaman pangan, hortikultura dan perairan. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan tenaga kerja di tingkat usaha tani, serta banyaknya pilihan herbisida yang efektif dan selektif sebagai haerbisida pra tumbuh dan purna tumbuh sesuai dengan komoditas tanaman yang dibudidayakan (Tjitrosemito, 2004).

Herbisida adalah suatu bahan kimia (pestisida) yang digunakan untuk membunuh atau mencegah pertumbuhan gulma. Cara yang paling efektif untuk menanggulangi gulma ialah menggunakan herbisida dalam kombinasi dengan cara pengendalian lainnya. Keuntungan penggunaan herbisida yaitu: a) Menggunakan herbisida menghemat tenaga. b) Herbisida dapat dapat digunakan dalam lingkungan apapun. Sedangkan kerugian penggunaan herbisida adalah: menggunakan herbisida yang sama terus-menerus mengakibatkan berkembangnya gulma, khususnya jenis tahunan yang sulit dikendalikan dengan herbisida (Sebayang, 2005).

Proses aplikasi herbisida menyangkut berbagai aspek antara lain: 1) Penyediaan larutan yang sesuai. 2) Pembuatan butiran cairan semprot. 3) Gerakan butiran cairan semprot kepada sasaran. 4) Impak butiran pada sasaran (Sukman dan Yakup, 2002).

Di dalam melakukan kalibrasi terdapat tiga faktor penting yang menentukan keberhasilan kalibrasi yakni:
 Ukuran lubang nozel.
 Tekanan dalam tangki alat semprot.
 Kecepatan pergerakan (berjalan) aplikator.
(Anderson, 1977).


BAHAN DAN METODE
Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada tanggal 18 April 2007 dengan ketinggian tempat 25 m dpl. Percobaan ini menggunakan air sebagai pelarut herbisida, gelas ukur untuk mengukur herbisida yang akan digunakan, ember plastik sebagai tempat menaruh air, glifosat sebagai herbisida yang akan diaplikasikan, dan Knapsock Sprayer sebagai alat semprot. Sebelum mengkalibrasikan air pada pelataran parkir, ditentukan terlebih dahulu volume awal dengan rumus:
Volume yang diaplikasikan = Volume yang diperlukan
Luas areal perlakuan Luas areal yang akan diberi perlakuan


Kemudian ditentukan banyaknya volume semprot yang diperlukan untuk dosis herbisida 2 liter/ha dan 3 liter/ha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Volume larutan yang diketahui (V1) = 10 L
Volume larutan yang tertinggal dalam tangki (V3) = 7,5 liter
Volume semprot (V2) = V1 – V3
= 2,5 liter
Lebar Lahan = 1,95 m
Panjang Lahan = 16,25 m
Luas Lahan = P x L
= 31,69 m2
Volume yang diaplikasikan = Volume yang diperlukan
Luas areal perlakuan Luas areal yang akan diberi perlakuan

V = 2,5 x 10000 = 788,892 liter
31,69

Dosis Herbisida 2 liter = (2 x 31,69 ) : 10.000 = 0,006 liter
Dosis Herbisida 3 liter = (3 x 31,69 ) : 10.000 = 0,0095 liter
Volume semprot per Hektar Dosis Herbisida 2 liter = 788,892 + 0,0063
= 788,8983 liter

Volume semprot per Hektar Dosis Herbisida 3 liter = 788,892 + 0,0095
= 788,8995 liter
Pembahasan
Dari hasil percobaan dengan mengkalibrasikan air pada luas lahan 31,69 m2, maka diperoleh volume semprot dengan dosis herbisida 2 liter/ha sebanyak 788,8983 liter/ha. Dan volume semprot dengan dosis herbisida 3 liter/ha sebanyak 788,8995 liter/ha. Sehingga dapat disimpulkan bahwa volume air yang akan digunakan untuk mengaplikasikan herbisida dengan dosis anjuran 2 liter/ha dengan dosis anjuran 3 liter/ha yang diaplikasikan pada luas areal yang sama membutuhkan volume air yang tidak jauh berbeda tetapi harus tetap diperhatikan kesesuaiannya. Hal ini sesuai dengan literatur dari Sukman dan Yakup (2002) yang menyatakan bahwa penyediaan larutan yang sesuai merupakan salah satu aspek penting dalam proses aplikasi herbisida.
Di dalam melakukan kalibrasi ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan kalibrasi yaitu ukuran lubang nozzle, tekanan dalam tangki alat semprot, dan kecepatan berjalan aplikator. Ketiga faktor tersebut harus diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh suatu volume larutan herbisida tertentu yang dapat dilepaskan melalui lubang nozzle pada setiap waktu yang dikehendaki. Hal ini sesuai dengan literatur Anderson (1977) bahwa di dalam melakukan kalibrasi terdapat tiga faktor penting yang menentukan keberhasilan kalibrasi yakni ukuran lubang nozel, tekanan dalam tangki alat semprot, dan kecepatan pergerakan (berjalan) aplikator.



KESIMPULAN
1. Pada luas lahan 31,69 m2 dengan volume awal 10 liter dan volume akhir 7,5 liter maka diperoleh volume yang diperlukan sebanyak 2,5 liter.
2. Pada luas lahan 31,69 m2 dengan dosis herbisida 2 liter/ha maka diperoleh volume semprot sebanyak 788,8983 liter/ha.
3. Pada luas lahan 31,69 m2 dengan dosis herbisida 3 liter/ha maka diperoleh volume semprot sebanyak 788,8995 liter/ha.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, W.P., 1977. Weed Scince. West Publishing, Los Angeles.

Sebayang, H. T., 2005. Gulma dan Pengendaliannya Pada Tanaman Padi. Unit Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang

Sukman, Y., dan Yakup, 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tjitrosemito, S., Sri S.T., dan Imam M., 2004. Prosiding Konferensi Nasional XVI Himpunan Ilmu Gulma Indonesia SEAMEO BIOTROP, Bogor, 15-17 Juli 2003. Bogor-Indonesia.

identifikasi dan analisis vegetasi gulma

KUMPULAN LAPORAN DASAR ILMU GULMA



LAPORAN


OLEH :
JUNITA SINAMBELA
070301054
BUDIDAYA PERTANIAN – AGRONOMI
7






















LABORATORIUM DASAR ILMU GULMA
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
KUMPULAN LAPORAN DASAR ILMU GULMA


LAPORAN


OLEH :
JUNITA SINAMBELA
070301054
BUDIDAYA PERTANIAN – AGRONOMI
7

Laporan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Mengikuti Praktikal Test
di Laboratorium Dasar Ilmu Gulma Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.

















LABORATORIUM DASAR ILMU GULMA
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009


KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik.

Adapun judul laporan ini adalah “Identifikasi dan Analisis Vegetasi Gulma; Teknik Aplikasi Herbisida; Periode Kritis Persaingan Kedelai (Glycine max (L.) Merill) Terhadap Gulma Bayam (Amaranthus sp.); Kemampuan Bersaing Kacang Kedelai (Glycine max (L.) Merill) Terhadap Gulma Bayam (Amaranthus sp.); Weed Seed Bank Pada Lahan Yang Berbeda; dan Pengaruh Kedalaman Tanah Terhadap Pertumbuhan Gulma”, yang merupakan salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal test di Laboratorium Dasar Ilmu Gulma, Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Ilmu Gulma Prof. Ir. Edison Purba, Ph.D; dan Prof. Dr. Sangli J. Damanik serta para asisten Laboratorium Ilmu Gulma yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2009
Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS VEGETASI GULMA 1

TEKNIK APLIKASI HERBISIDA 7
PERIODE KRITIS PERSAINGAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) TERHADAP GULMA BAYAM (Amaranthus sp.) 12
KEMAMPUAN BERSAING KACANG KEDELAI (Glycine max L.) Merill) TERHADAP GULMA BAYAM (Amaranthus sp.) 17

WEED SEED BANK PADA LAHAN YANG BERBEDA 22

PENGARUH KEDALAMAN TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA .......................................................................... 27


IDENTIFIKASI DAN ANALISIS VEGETASI GULMA

Junita Sinambela/070301054
Mahasiswi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

ABSTRAK
Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan yang berada pada ketinggian  25 m di atas permukaan laut. Percobaan ini bertujuan untuk mengenal spesies-spesies gulma dan melatih ketrampilan mahasiswa dalam mengidentifikasi gulma golongan rumput-rumputas (grasses), berdaun lebar (broadleaf weeds), dan teki (sedges) dan menentukan gulma dominan yang terdapat di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam percobaan identifikasi dan analisa vegetasi gulma mengeidentifikasi jenis gulma yang ada dan mengetahui jenis gulma yang dominan dengan metode kuadran seluas 2 m2. Pada percobaan ini diketahui bahwa gulma yang mendominasi (NJD) tertinggi terdapat pada gulma Cyperus kyllingia sebesar 20,66% dan NJD terendah pada gulma Cyrtococcum arcroneum sebesar 0,855%

Kata kunci : identifikasi, kuadran, gulma

PENDAHULUAN
Gulma ialah tanaman yang tumbuhnya tidak diinginkan. Gulma di suatu tempat mungkin berguna sebagai bahan pangan, makanan ternak atau sebagai bahan obat-obatan. Dengan demikian, suatu spesies tumbuhan tidak dapat diklasifikasikan sebagai gulma pada semua kondisi. Namun demikian, banyak juga tumbuhan diklasifikasikan sebagai gulma dimanapun gulma itu berada karena gulma tersebut umum tumbuh secara teratur pada lahan tanaman budidaya (Sebayang, 2005).

Gulma dari golongan monokotil pada umumnya disebut juga dengan istilah gulma berdaun sempit atau jenis gulma rumput-rumputan. Sedangkan gulma dari golongan dikotil disebut dengan istilah gulma berdaun lebar. Ada pula jenis gulma lain yang berasal dari golongan teki-tekian (atau golongan sedges) (Moenandir, 1993).

Dalam mengidentifikasi gulma dapat ditempuh satu atau kombinasi dari sebagian atau seluruh cara-cara ini: 1) Membandingkan gulma tersebut dengan material yang telah diidentifikasi di herbarium. 2) Konsultasi langsung, dengan para ahli di bidang yang bersangkutan. 3) Mencari sendiri melalui kunci identifikasi. 4) Membandingkannya dengan determinasi yang ada. 5) Membandingkannya dengan ilustrasi yang tersedia (Tjitrosoedirdjo, dkk., 1984).

Teki mempunyai batang berbentuk segitiga, kadang-kadang bulat dantidak berongga, daun berasal dari nodia dan warna ungu tua. Gulma ini mempunyai sistem rhizoma dan umbi sangat luas. Sifat yang menonjol adalah cepatnya membentuk umbi baru yang dapat bersifat dorman pada lingkungan tertentu (Sukman dan Yakup, 2002).

Konsepsi dan metode analisis vegetasi sesungguhnya sangat bervariasi, tergantung keadaan vegetasi itu sendiri dan tujuannya. Misalnya apakah ditujukan untuk mempelajari tingkat suksesi, apakah untuk evaluasi hasil suatu pengendalian glma. Metode yang digunakan harus disesuaikan dengan struktur dan komposisi vegetasi. Untuk areal yang luas dengan vegetasi semak rendah misalnya, digunakan metode garis (line intersept), untuk pengamatan sebuah contoh petak dengan vegetai “tumbuh menjalar” (cpeeping) digunakan metode titik (point intercept) dan untuk suatu survei daerah yang luas dan tidak tersedia cukup waktu, estimasi visual (visual estimation) mungkin dapat digunakan oleh peneliti yang sudah berpengalaman. Juga harus diperhatikan keadaan geologi, tanah, topografi, dan data vegetasi yang mungkin telah ada sebelumnya, serta fasilitas kerja/keadaan, seperti peta lokasi yang bisa dicapai, waktu yang tersedia, dan lain sebagainya; semuanya untuk memperoleh efisiensi (Tjitrosoedirdjo, dkk., 1984).

BAHAN DAN METODE
Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada tanggal 28 Agustus 2009 dengan ketinggian tempat 25 m dpl. Bahan yang diperlukan adalah spesies gulma yang tumbuh di lahan percobaan, tali plastik dan pacak untuk menandai lahan percobaan serta buku identifikasi untuk membantu proses identifikasi.
Percobaan ini menggunakan metode kuadran dengan dua belas blok. Dihitung kerapatan mutlak (KM), kerapatan nisbi (KN), frekuensi mutlak (FM), frekuensi nisbi (FN) dan nilai jumlah dominansi (NJD) dengan rumus :
KM
KN = X 100%
 KM

FM
FN = X 100%
 FM

KN + FN
NJD = X 100%
2
Keterangan :
KM = kerapatan mutlak spesies gulma dalam petak contoh
KN = % kerapatan mutlak spesies tertentu terhadap semua jenis gulma.
FM = frekuensi mutlak spesies gulma dalam petak contoh
FN = % frekuensi mutlak spesies gulma tertentu terhadap semua jenis gulma.
NJD = nilai dominansi spesies gulma.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
NO Nama Gulma Blok KM FM KN
(%) FN
(%) NJD
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Ageratum conyzoides - - 3 3 - 1 1 - - - - - 8 4 0.45 4.12 2.285
2 Asystasia intrusa - 3 - 4 - - - - - 2 11 55 75 5 4.24 5.15 4.695
3 Axonopus compressus - - 78 9 20 - - 4 - - - - 111 4 6.28 4.12 5.2
4 Borreria laevis - 4 16 - - - 2 8 - - - - 30 4 1.70 4.12 2.91
5 Borreria latifolia - - - 2 - - 10 - - - - - 12 2 0.68 2.06 1.37
6 Cleome rutidosperma - - 15 - 3 2 - - - - - - 20 3 1.13 3.09 2.11
7 Commelina difffusa - - - - - - - 152 - - - - 152 1 8.60 1.03 4.815
8 Cyclosorus aridus - - - - - - - - - - 3 - 3 1 0.17 1.03 0.6
9 Cynodon dactylon - - - - - - - 9 - - - - 9 1 0.51 1.03 0.77
10 Cyrtococcum acrescens - - 32 - - - - - - 4 - - 36 2 2.04 2.06 2.05
11 Cyrtococcum arcroneum - - - - - - - 12 - - - - 12 1 0.68 1.03 0.855
12 Cyperus kyllingia - 45 302 26 23 22 52 7 7 10 6 30 530 11 29.98 11.34 20.66
13 Cyperus rotundus - - - - - - - 6 - - - - 8 2 0.45 2.06 1.255
14 Dactyloctenium aegyptium 10 4 1 - 22 - - - - - - - 37 4 2.09 4.12 3.105
15 Eleusine indica 78 8 17 1 - 2 1 - 1 - - - 108 7 6.11 7.22 6.665
16 Euphorbia hirta - - - - 2 - - - 10 - - - 12 2 0.68 2.06 1.37
17 Euphorbia prunifolia 4 - - - 2 3 - - - 14 2 7 32 6 1.81 6.19 4
18 Hyptis rhomboidea 1 2 - - 2 - 1 - - - 8 1 15 6 0.85 6.19 3.52
19 Ipomea reptans 1 - - - - - - - - - - - 1 1 0.06 1.03 0.545
20 Mimosa pudica 1 - - - - 2 - - - - - - 3 2 0.17 2.06 1.115
21 Ottochloa nodosa - - - - - 145 - - - - - - 145 1 8.20 1.03 4.615
22 Paspalum commersonii - - - 2 - - - - - - - - 2 1 0.11 1.03 0.57
23 Paspalum conjugatum - 10 - - 27 - 1 - - - - 2 40 4 2.26 4.12 3.19
24 Phyllanthus niruri - - 3 2 3 1 2 - 2 - - - 13 6 0.73 6.19 3.46
25 Setaria plicata 17 17 35 12 34 4 47 19 13 28 21 98 345 12 19.51 12.37 15.94
26 Sida rhombifolia 2 - - - - - - 1 - - - - 4 3 0.23 3.09 1.66
27 Spingelia anthelmia - - - 5 - - - - - - - - 5 1 0.28 1.03 0.655
1768 98

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa gulma yang tidak mendominasi daerah tersebut adalah Cyrtococcum arcroneum dengan NJD 0,855 % sedangkan yang mendominasi adalah Cyperus kyllingia dengan nilai NJD 20,66 %.

Pembahasan
Dari hasil percobaan diperoleh NJD tertinggi adalah Cyperus kyllingia yaitu 20,66%, sedangkan NJD terendah adalah Cyrtococcum arcroneum yaitu 0.855%. Cyperus kyllingia merupakan gulma yang pertumbuhannya cepat dan memiliki toleransi yang besar terhadap suasana lingkungan yang ekstrim. Hal ini sesuai dengan literatur Sukman dan Yakup (2002) yang menyatakan teki mempunyai sistem rhizoma dan umbi sangat luas. Sifat yang menonjol adalah cepatnya membentuk umbi baru yang dapat bersifat dorman pada lingkungan tertentu.
Pada percobaaan tersebut diketahui bahwa dalam mengidentifikasi gulma pada lahan percobaan dalam hal ini digunakan adalah mencari sendiri melalui kunci identifikas dan dilakukan konsultasi langsung dengan asisiten laboratorium dasar ilmu gulma. Hal ini sesuai dengan literatur Tjitrosoedirdjo, dkk. (1984) yang menyatakan bahwa dalam mengidentifikasi gulma dapat ditempuh satu atau kombinasi cara. Antara lain dengan mencari sendiri melalui kunci identifikasi dan konsultasi dengan para ahli di bidang bersangkutan.

KESIMPULAN
1. Dari hasil percobaan diperoleh KM tertinggi adalah Cyperus kyllingia yaitu 530 dan KM terendah adalah Ipomea reptans yaitu 1
2. Dari hasil percobaan diperoleh KN tertinggi adalah Cyperus kyllingia yaitu 29,98% dan KN terendah adalah Phyllanthus niruri yaitu 0,73%
3. Dari hasil percobaan diperoleh NJD tertinggi adalah Cyperus kyllingia yaitu 20,66% dan NJD terendah adalah Cyrtococcum arcroneum yaitu 0,855%
4. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa gulma dominan yang terdapat pada lahan percobaan adalah Cyperus kyllingia
5. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa jenis gulma berdaun lebar lebih banyak terdapat pada lahan percobaan dibandingkan gulma kelompok teki dan rerumputan

DAFTAR PUSTAKA
Moenandir, J. 1993. Ilmu Gulma Dalam Sistem Pertanian. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sebayang, H. T., 2005. Gulma dan Pengendaliannya Pada Tanaman Padi. UnitPenerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang

Sukman, Y. dan Yakup, 1995. Gulma dan Tehnik Pengendaliannya. Rajawali Press, Jakarta.
Tjitrosoedirdjo, S., H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo., 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT Gramedia, Jakarta

pengaruh media tanam terhadap perkecambahan benih kakao (Theobroma cacao L.)

PENGARUH MEDIA TANAM PADA PERKECAMBAHAN BENIH KAKAO (Theobroma cacao L.)




LAPORAN




OLEH :

JUNITA SINAMBELA/070301054
BDP-AGRONOMI
III












LABORATORIUM AGRONOMI TANAMAN PERKEBUNAN II
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
PENGARUH MEDIA TANAM PADA PERKECAMBAHAN BENIH KAKAO (Theobroma cacao L.)


LAPORAN



OLEH :

JUNITA SINAMBELA/070301054
BDP-AGRONOMI
III

Laporan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Mengikuti Praktikal Test di Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan II Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan














LABORATORIUM AGRONOMI TANAMAN PERKEBUNAN II
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009


RINGKASAN PERCOBAAN

Percobaan ini dilakukan di laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dengan ketinggian tempat  25 m di atas permukaan laut. Percobaan ini dilakukan mulai bulan Agustus hingga November 2009.
Adapun judul dari percobaan ini adalah “Pengaruh Media Tanam Pada Perkecambahan Benih Kakao (Theobroma cacao L.)”. Benih yang ditanam pada percobaan ini adalah benih kakao.
Metode percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial yaitu media tanam, dimana : Tanah (M0), Pasir + Tanah (M1) dan pasir (M2).
Dari hasil percobaan yang dilakukan diperoleh bahwa rataan persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu sebesar 100 % dan terendah terdapat pada perlakuan M2 yaitu sebesar 66,60 %. Rataan laju perkecambahan tercepat terdapat pada perlakuan M2 yaitu sebesar 4,5 hari dan terlama pada perlakuan M1 yaitu sebesar 3,33 hari. Dari hasil percobaan juga diketahui bahwa perlakuan media tanam tidak berpengaruh nyata pada parameter rataan tinggi kecambah 1, 3, dan 4 MST. Rataan tinggi tanaman tertinggi pada 4 MST terdapat pada perlakuan M1 yaitu 32 cm dan terendah pada perlakuan M0 yaitu 21.58 cm. Perlakuan media tanam juga tidak berpengaruh nyata pada parameter diameter batang 1, 2, dan 4 MST. Rataan diameter batang tertinggi pada 4 MST terdapat pada perlakuan M1 yaitu 1,4 mm dan terendah pada perlakuan M0 yaitu 1 mm.
RIWAYAT HIDUP

Junita Sinambela lahir pada tanggal 2 April 1989 di Medan. Anak pertama dari empat bersaudara. Anak dari Bapak P. Sinambela dan Ibu N. Manurung.

Adapun pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
SD Negeri 050721 di Gohor Lama Tamat tahun 2001
SMP Negeri 1 di Hinai Tamat tahun 2004
SMA Negeri 1 di Stabat Tamat tahun 2007

Penulis terdaftar sebagai mahasiswi di Departemen Budidaya Pertanian Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan melalui jalur SPMB pada pilihan pertama pada tahun 2007 sampai sekarang.
























KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.

Adapun judul dari laporan ini adalah “Pengaruh Media Tanam pada Perkecambahan Benih Kakao (Theobroma cacao L.)” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal test di Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan II Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Balonggu Siagian, MS, Ir. Sanggam Silitonga, MS dan Ir. Lisa Mawarni, MP selaku dosen mata kuliah Agronomi Tanaman Perkebunan II serta kepada abang dan kakak asisten yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2009



Penulis



DAFTAR ISI
RINGKASAN PERCOBAAN i

RIWAYAT HIDUP ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Percobaan 2
Hipotesis Percobaan 2
Kegunaan Percobaan 3

TINJAUAN PUSTAKA 4
Botani Tanaman 4
Syarat Tumbuh 6
Iklim 6
Tanah 8
Media Tanam 8

BAHAN DAN METODE PERCOBAAN 11
Tempat dan Waktu Percobaan 11
Bahan dan Alat 11
Metode Percobaan 12

PELAKSANAAN PERCOBAAN 14
Persiapan Media Tanam 14
Penanaman 14
Pemeliharaan Benih 14
Penyiraman 14
Penyiangan 14
Pengamatan Parameter 15
Persentase Perkecambahan (%) 15
Laju Perkecambahan (hari) 15
Tinggi Kecambah (cm) 15
Diameter Batang (mm) 15
HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Hasil 16
Pembahasan 19

KESIMPULAN DAN SARAN 21
Kesimpulan 21
Saran 21

DAFTAR PUSTAKA

































DAFTAR TABEL
No. Keterangan Hal.

1. Rataan Tinggi Kecambah (cm) 5 MST 18
2. Rataan Diameter Batang (mm) 5 MST 19



































DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Hal.

1. Persentase Perkecambahan (%) 23
2. Laju Perkecambahan (hari) 23
3. Rataan Tinggi Kecambah (cm) 1 MST 24
4. Daftar Sidik Ragam Rataan Tinggi Kecambah (cm) 1 MST 24
5. Rataan Tinggi Kecambah (cm) 2 MST 24
6. Daftar Sidik Ragam Rataan Tinggi Kecambah (cm) 2 MST 24
7. Rataan Tinggi Kecambah (cm) 3 MST 25
8. Daftar Sidik Ragam Rataan Tinggi Kecambah (cm) 3 MST 25
9. Rataan Tinggi Kecambah (cm) 4 MST 25
10. Daftar Sidik Ragam Rataan Tinggi Kecambah (cm) 4 MST 25
11. Rataan Tinggi Kecambah (cm) 5 MST 26
12. Daftar Sidik Ragam Rataan Tinggi Kecambah (cm) 5 MST 26
13. Rataan Diameter Batang (mm) 2 MST 26
14. Daftar Sidik Ragam Rataan Diameter Batang (mm) 2 MST 26
15. Rataan Diameter Batang (mm) 3 MST 27
16. Daftar Sidik Ragam Rataan Diameter Batang (mm) 3 MST 27
17. Rataan Diameter Batang (mm) 4 MST 27
18. Daftar Sidik Ragam Rataan Diameter Batang (mm) 4 MST 27
19. Rataan Diameter Batang (mm) 5 MST 28
20. Daftar Sidik Ragam Rataan Diameter Batang (mm) 5 MST 28



PENDAHULUAN



Latar Belakang


Tanaman kakao (Theobroma cacao) berasal dari hutan hujan tropis yang menyebar dari Meksiko Selatan, Brasil sampai ke Bahama; terletak pada 18 LU sampai 15 LS. Populasi yang terbanyak dan diduga sebagai pusatnya adalah di wilayah Upper Amazon. Kakao masuk ke Indonesia pada tahun 1560 di Sulawesi Utara dan berasal dari Filipina; jenisnya adalah Criollo dan jenis ini diduga berasal dari Venezuela. Produksi dari tanaman kakao ini rendah dan peka terhadap hama penyakit, tetapi rasanya enak. Pada tahun 1806 perluasan kakao dilakukan di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kakao jenis Criollo (Anonimous, 1996).
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai cokelat. Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10 m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif (http://id.wikipedia.org, 2009).
Tanaman cokelat (Theobroma cacao) termasuk tanaman tropis. Dikenal masyarkat Indonesia pertama kali pada tahun 1780 sebagai tanaman pekarangan dan merupakan tanaman tahunan. Semula nilai komersilnya belum begitu diutamakan bagi penanamnya. Tapi dengan berkembangnya zaman, dimana produk makanan dan produk lain makin banyak yang menggunakan coklat, akhirnya tanaman ini dibudidayakan secara besar-besaran untuk tujuan komersial (Spillane, 1995).
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta (http://www.litbang.deptan.go.id, 2009).

Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) atau lebih dikenal dengan nama cokelat berasal dari hutan di Amerika Serikat. Jenis tanaman kakao ada berbagai macam tetapi yang banyak dikembangkan sebagai tanaman perkebunan ada tiga, yaitu: criollo, forastero, dan trinitario (http://ksupointer.com, 2009).

Perkecambahan tanaman kakao dimulai dari munculnya akar yang tumbuh dari hipokotil berasal dari kotiledon yang masih tertutup dan terangkat sekitar 3 cm di atas permukaan tanah. Fase pertama ini kadang-kadang disebut dengan “fase serdadu”, ditandai dengan kotiledon yang masih belum terangkat semua dari tanah, dengan panjang akar rata-rata 4-5 cm. Fase kedua dimulai dengan pembukaan kotiledon diikuti dengan munculnya plumula, kotiledon mendatar semua terangkat dari tanah, panjang akar rata-rata 7 cm. Fase ketiga ditandai dengan kotiledon yang terangkat tegak lurus, panjang akar rata-rata 10 cm. Akar kecambah tanaman kakao yang telah berumur satu sampai dua minggu biasanya menumbuhkan akar-akar cabang, dari akar itu tumbuh akar-akar rambut yang jumlahnya sangat banyak, serta pada bagian ujung akar itu terdapat bulu akar yng dilindungi oleh tudung akar. Bulu akar inilah yang berfungsi untuk menghisap larutan dan garam-garam tanah (http:// pustaka.unpad.ac.id, 2009).

Tujuan Percobaan


Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh media tanam pada perkecambahan benih kakao ( Theobroma cacao L.).

Hipotesis Percobaan


Ada pengaruh media tanam pada perkecambahan benih kakao (Theobroma cacao L.).

Kegunaan Percobaan
 Sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal test di Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan II Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
 Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Zaenudin (2004) sistematika tanaman kakao adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Malvales
Family : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.

Tanaman coklat yang berasal dari biji (generatif) memiliki akar tunggang yang tumbuh lurus ke bawah. Akar lateral pada awal pertumbuhan tumbuh pada leer akar yang tidak jauh dari permukaan tanah. Sedangkan pada tanaman dewasa akar-akar sekunder menyebar sekitar 15 – 20 cm di bawah permukaan tanah (Sunanto, 1992).

Cokelat dapat tumbuh sampai ketinggian 8 – 10 meter dari pangkal batangnya pada permukaan tanah. Tanaman cokelat punya kecenderungan tumbuh lebih pendek bila ditanam tanpa pohon pelindung. Di awal pertumbuhannnya tanaman cokelat yang diperbanyak melalui biji akan menumbuhkan batang utama sebelum menumbuhkan cabang-cabang primer. Letak cabang-cabang primer itu tumbuh disebut jorquette, yang tingginya dari permukaan tanah 1 – 2 meter. Ketinggian jorquette yang ideal adalah 1,2 – 1,5 meter agar tanaman dapat menghasilkan tajuk nyang baik dan seimbang (Siregar, dkk., 2008).

Daun tanaman kakao juga mempunyai sifat dimorphic, sesuai pada cabang mana daun tersebut tumbuh. Daun pada chupon atau pada batang orthotrop letaknya 3/8 menurut arah spiral. Daun pada cabang plagiotrop letaknya ½ selang-seling. Daun pada cabang orthotrop mempunyai tangkai yang panjang, pada pangkal yang menempel di cabang membengkak, dan bentuk daun simetris dengan panjang rata-rata ± 30 cm. Sedangkan daun pada cabang plagiotrop, tangkai daun lebih pendek, bentuk kurang simetris dengan panjang daun rata-rata ± 25 cm (Anonimous, 1996).

Bunga kakao, sebagaimana anggota Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung dari batang (cauliflorous). Bunga sempurna berukuran kecil (diameter maksimum 3 cm), tunggal, namun nampak terangkai karena sering sejumlah bunga muncul dari satu titik tunas. Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama lalat kecil (midge) Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah Trigona) yang biasanya terjadi pada malam hari1. Bunga siap diserbuki dalam jangka waktu beberapa hari. Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem inkompatibilitas sendiri (lihat penyerbukan). Walaupun demikian, beberapa varietas kakao mampu melakukan penyerbukan sendiri dan menghasilkan jenis komoditi dengan nilai jual yang lebih tinggi (http://id.wikipedia.org, 2009).

Warna buah kakao beraneka ragam, Namur pada dasarnya hanya ada dua macam yaitu: buah muda berwarna hijau putih dan bila masak menjadi berwarna kuning, dan buah muda yang berwarna merah estela masak menjadi oranye. Kulit buah beralur 10, alur dalam dan dangkal silih bergante. Untuk jenis Criollo dan Trinitario alur buah nampak jelas, kulit tabal tetap lunak dan permukaan kasar. Sedangkan jenis Forastero umumnya permukaan buah halus atau rata dan kulitnya tipis (Susanto, 1995).

Biji terangkai pada plasenta yang tumbuh dari pangkal buah, di bagian dalam. Biji dilindungi oleh salut biji (aril) lunak berwarna putih. Dalam istilah pertanian disebut pulp. Endospermia biji mengandung lemak dengan kadar yang cukup tinggi. Dalam pengolahan pascapanen, pulp difermentasi selama tiga hari lalu biji dikeringkan di bawah sinar matahari (http://id.wikipedia.org, 2009).

Syarat Tumbuh

Iklim

Tanaman cokelat tumbuh baik di hutan tropik, sebab pertumbuhan tanaman cokelat sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu. Tanaman colelat dapat tumbuh di daerah yang terletak di antara 20LU dan 20 LS (Sunanto, 1992).

Hal terpenting dari curah hujan yang berhubungan dengan pertanaman dan produksi cokelat adalah distribusinya sepanjang tahun.Hal tersebut berkaitan dengan masa pembentukan tunas muda (flushing) dan produksi. Areal penanaman cokelat yang ideal adalah daerah-daerah bercurah hujan 1.100 – 3.000 mm per tahun (Siregar, dkk., 2008).
Suhu sehari-hari yang terbaik untuk tanaman cokelat adalah sekitar 24– 28C, dan kelembaban udaranya constan dan relatif tinggi yakni sekitar 80% Sunanto, 1992).

Lingkungan hidup alami tanaman cokelat adalah hutan hujan tropis yang di dalam pertumbuhannya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak menyoroti tanaman cokelat dan mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan tanaman relatif pendek Sejumlah peneliti menyimpulkan bahwa maksimisasi penggunaan cahaya matahari di dalam proses fotosíntesis ternyata tidak memberikan pengaruh merugikan terhadap pertumbuhan dan produksinya. Air dan hara merupakan faktor penentu bilamana cokelat hendak ditanam dengan sistem tanpa tanaman pelindung sehingga tanaman terus-menerus mendapatkan sinar matahari secara penuh (Siregar, dkk., 2008).

Daerah penghasil kakao memiliki kelembaban udara relatif maksimum 100%, pada malam hari 70% – 80% pada siang hari. Kelembaban yang rendah akan mempengaruhi eapotranspirasi menjadi lebih cepat, sedangkan kelembaban yang tinggi mengundang perkembangan cendawan patogen (Susanto, 1995).

Kecepatan angin juga mempengaruhi keberhasilan usa tani kakao. Kecepatan angin yang tinggi dan berlangsung lama jelas akan merusak daun kakao, sehingga rontok dan tanaman menjadi gundul. Kerusakan kakao akibat angin tersebut akan mempunyai dampak terhadap turunnya produksi kakao (Zaenudin, 2004).



Tanah


Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian kurang dari 600 meter di atas permukaan laut. Lapisan tanah minimum setebal 90 cm, cukup gembur, banyak mengandung humus dan bahan organik, memiliki kadar hara yang tinggi dengan keseimbangan yang baik, memiliki pH 6-7,5, dan mengandung cukup air dan udara (http://ksupointer.com, 2009).

Tanah yang baik untuk kakao adalah tanah yang bila musim hujan drainase baik dan pada musim kemarau dapat menyimpan air. Hal ini dapat terpenuhi jika tanah memiliki tekstur sebagai berikut: fraksi pasir sekitar 50%, fraksi debu sekitar 10%-20%, dan fraksi lempung 30%-40%. Jadi tekstur tanah yang paling baik untuk tanaman kakao adalah tanah liat berpasir dan lempung liat berpasir. Struktur tanah yang remah dan agregat yang mantap dapat menciptakan aerasi yang baik dan memungkinkan perkembangan akar. Tanah latosol dengan liat yang tinggi, kurang baik untuk tanaman kakao. Sedangkan tanah regosol dengan tekstur lempung liat, walaupun mengandung kerikil masih baik untuk tanaman kakao (Susanto, 1995).

Faktor timbulan meliputi elevasi, topografi dan tinggi tempat. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%. Faktor timbulan yang paling berpengaruh adalah lereng, ini berkaitan dengan tingkat kesuburan, manajemen, pemeliharaan, dan pemanenan (Zaenudin, 2004).

Tanaman kakao menghendaki tanah yang mudah diterobos oleh air tanah dan tanah harus dapat menyimpan air tanah terutama pada musim kemarau, aerase dan draenase yang baik untuk tanaman kakao adalah tanah liat berpasir lempung liat berpasir (Sutherland, 1972).

Media Tanam

Jenis tanah berhubungan sangat erat dengan plastisitas, permeability, kekerasan, kemudahan olah, kesuburan dan produktivitas tanah pada daerah geografik tertentu akan tetapi berhubungan adanya variasi yang terdapat dalam sistem mineralogi fisik tanah, maka belum berlaku untuk semua jenis tanah di permukaan bumi (Buckman dan Brady, 1982).

Partikel-partikel pasir yang ukurannya yang jauh lebih besar dan memiliki permukaan yang kecil (dengan berat yang sama) dibandingkan dengan debu dan liat. Oleh karena itu, peranannya dalam mengatur sifat-sifat tanah, semakin tinggi persentase pasir dalam tanah, semakin banyak pori-pori di antara partikel tanah dan hal ini dapat memperlancar gerakan udara/air (Hartman, et al., 1981).

Bila tanah terlalu banyak mengandung pasir, tanah ini kurang baik untuk pertumbuhan tanaman. Tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan (specific surface) yang kecil, sehingga sulit menyerap atau menahan air dan unsur hara, sehingga pada musim kemarau mudah kekurangan air. Bila jumlah pasir tidak terlalu banyak pengaruhnya terhadap tanah akan baik karena cukup longgar, air akan mudah diserap dan cukup dikandung tanah, udara tanah mudah masuk dan tanah mudah diolah (Hasibuan, 2006).

Distribusi ukuran partikel dan kelas tekstur mempunyai korelasi dengan air, udara, unsur hara, mintakat perakaran, kemudahan diolah dan yang terpenting adalah masalah kesuburan. Sifat umum tanah sangat ditentukan oleh tekstur (Sutanto, 2005).

















BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl yang dimulai dari bulan Agustus 2009 sampai dengan November 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih kakao (Theobroma cacao L.) sebagai objek pengamatan, tanah dan pasir sebagai media tanam, polibag sebagai wadah penanaman, label nama untuk menandai perlakuan tiap polibag, air untuk penyiraman, serta abu gosok untuk membersihkan pulp kakao.

Alat yang digunakan adalah cangkul untuk mencampur tanah, gembor untuk menyiram tanaman, meteran untuk mengukur tinggi tunas, jangka sorong untuk mengukur diameter batang tunas, dan alat tulis untuk mencatat data pengamatan.










Metode Percobaan
Metode percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial yaitu :
M0 : Tanah
M1 : Tanah : Pasir (2 : 1)
M2 : Pasir
Jumlah Blok : 3
Jumlah Petakan : 9
Jumlah Benih Perpetak : 10
Jumlah Benih Seluruhnya : 90 benih
Sehingga diperoleh :
M0 M1 M1
M2 M0 M1
M1 M2 M0
Dari hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam berdasarkan model linier sebagai berikut :
Yijk = µ + τi + αj + βk + (αβ)jk + εijk
Dimana :
Yijk = hasil pengamatan untuk unit percobaan ke-I dengan perlakuan media tanam taraf ke-j dan biji pada taraf ke-k
µ = nilai tengah
Ï„i = respon blok ke-i
αj = respon pemberian media tanam pada taraf ke-j
βk = respon perlakuan biji pada taraf ke-k
εijk = respon interaksi media tanam pada taraf ke-j dengan perlakuan biji pada taraf ke-k





































Bagan Percobaan




U








S












PELAKSANAAN PERCOBAAN
Persiapan Media Tanam
Media yang digunakan pada percobaan ini adalah tanah dan pasir yang diisikan ke dalam polibag kemudian disiram terlebih dahulu dengan air sebelum biji ditanam.

Penanaman
Media tanam yang telah disiram diletakkan di tempat yang telah ditentukan. Biji ditanam dengan mata tumbuhnya satu arah dari perut biji menghadap ke atas dan ditekan dengan jari sehingga bagian punggung biji masih berada di atas permukaan tanah.

Pemeliharaan
Penyiraman
Penyiraman dilakukan setiap sore hari dan tergantung keadaan cuaca.

Penyiangan
Penyiangan dilakukan seminggu sekali dengan menggunakan tangan saat gulma mulai tumbuh di media tanam.



Pengamatan Parameter
Persentase Perkecambahan (%)
Persentase perkecambahan dihitung dengan menggunakan rumus :
N1T1 + N2T2 + NxTx
Persentase Perkecambahan (%) = x 100%
Jumlah benih yang dikecambahkan

Laju Perkecambahan (hari)
Laju perkecambahan dihitung dengan menggunakan rumus :
N1.T1 + N2.T2 + … + Nx.Tx
Laju Perkecambahan (hari) =
Jumlah benih yang berkecambah

Tinggi Kecambah (cm)
Tinggi kecambah yang dikecambahkan melalui biji dihitung mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi tunas tersebut dengan menggunakan meteran. Tinggi kecambah dihitung seminggu sekali.

Diameter Batang (mm)
Diameter batang diukur dengan menggunakan jangka sorong. Diukur dari pangkal bawah tanaman tersebut. Diameter batang dihitung seminggu sekali.



HASIL DAN PEMBAHASAN



Hasil


Dari hasil percobaan yang dilakukan diperoleh bahwa persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu sebesar 100 % dan persentase perkecambahan terendah terdapat pada perlakuan M2 yaitu sebesar 66,60 % dan laju perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu sebesar 3,33 hari dan laju perkecambahan terendah pada perlakuan M2 yaitu sebesar 4,5 hari serta media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman (cm) dan diameter batang (mm).

Persentase Perkecambahan (%)
Dari hasil percobaan diketahui bahwa persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu 100% dan t persentase perkecambahan terendah pada perlakuan M2, yaitu 66,60 %.
Laju Perkecambahan (hari)
Dari hasil percobaan diketahui bahwa laju perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu 3,33 hari dan laju perkecambahan terendah pada perlakuan M2 yaitu 4,5 hari.




Tinggi Tanaman (cm)

Hasil sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 4, 6, 8, 10 dan 12. Dari hasil sidik ragam diketahui bahwa perbedaan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi kecambah pada 1, 2, 3, 4 dan 5 MST.
Rataan tinggi kecambah pada 5 MST dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Rataan Tinggi Tanaman (cm) 5 MST
Perlakuan Blok Total Rataan
I II III
M0
M1
M2 13.00
14.50
10.13
11.00
13.80
10.50 12.00
13.90
10.60 36.00
42.20
31.23 12.00
14.07
10.41
Total 27.50 34.80 25.90 78.20 26.07
Rataan 13.75 12.40 12.95 39.10 13.03

Dari tabel 1 diketahui bahwa rataan tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu 14.07 cm dan rataan tinggi tanaman terendah pada perlakuan M2, yaitu 10.41 cm.
Diameter Batang (mm)

Hasil sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 14, 16, 18, dan 20. Dari hasil sidik ragam diketahui bahwa perbedaan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap diameter batang pada 2, 3, 4, 5 MST.



Rataan diameter batang pada 4 MST dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Rataan Diameter Batang (mm) 5 MST
Perlakuan Blok Total Rataan
I II III
M0
M1
M2 0.93
1.27
0.72 0.99
1.42
0.83 1.10
1.62
0.70 3.02
4.31
2.55 1.01
1.44
0.75
Total 2.20 2.41 2.72 7.33 2.44
Rataan 1.10 1.21 1.36 3.67 1.22

Dari tabel 2 diketahui bahwa rataan diameter batang tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu 1.4 mm dan rataan diameter batang terendah pada M2 yaitu 0.75 mm.

Pembahasan
Dari hasil percobaan diperoleh bahwa persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu sebesar 100%, dan terendah pada perlakuan M2 yaitu sebesar 66.60%. Ini menunjukkan bahwa pada media pasir lebih memudahkan akar kecambah kakao untuk berkembang dimana juga didukung oleh bahan makanan yang terdapat di dalam biji kakao yang ditanam. Hal ini sesuai dengan literatur Hartman, et al. (1981) yang menyatakan bahwa semakin tinggi persentase pasir dalam tanah, semakin banyak pori-pori di antara partikel tanah dan hal ini dapat memperlancar gerakan udara/air.

Dari hasil percobaan diperoleh bahwa laju perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan M2 yaitu sebesar 4.5 hari, dan terendah terdapat pada perlakuan M1 yaitu sebesar 3.33 hari. Ini menunjukkan bahwa penggunaan pasir sebagai media tanam sesuai untuk perkecambahan biji kakao. Hal ini sesuai dengan literatur Sutherland (1972) yang menyatakan bahwa tanaman kakao menghendaki tanah yang mudah diterobos oleh air tanah dan tanah harus dapat menyimpan air tanah terutama pada musim kemarau, aerase dan draenase yang baik untuk tanaman kakao adalah tanah liat berpasir lempung liat berpasir.

Dari hasil percobaan diperoleh bahwa rataan tinggi kecambah 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu sebesar 14.07 cm, dan terendah pada perlakuan M2 yaitu sebesar 10.41 cm. Ini menunjukkan bahwa penggunaan tanah yang ditambahkan pasir sangat baik untuk pertumbuhan tinggi tanaman dengan memperhatikan pembersihan pulp pada biji tanaman. Hal in sesuai dengan pernyataan Susanto (1995) bahwa tekstur tanah yang paling baik untuk tanaman kakao adalah tanah liat berpasir dan lempung liat berpasir. Struktur tanah yang remah dan agregat yang mantap dapat menciptakan aerasi yang baik dan memungkinkan perkembangan akar.

Dari hasil percobaan diperoleh bahwa rataan tinggi kecambah 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu sebesar 14.07 cm, dan terendah pada perlakuan M2 yaitu sebesar 10.41 cm. Ini menunjukkan bahwa penggunaan tanah yang ditambahkan pasir sangat baik untuk pertumbuhan tinggi tanaman. Hal ini sesuai dengan literatur Setiawan (2000) yang menyatakan tekstur tanah yang paling baik untuk tanaman kakao adalah tanah liat berpasir dan lempung liat berpasir. Fungsi utamanya adalah untuk perbaikan sifat fisik tanah semakin tinggi persentase pasir dalam tanah, semakin banyak pori – pori antar partikel tanah dan dapat memperlancar gerakan udara dan air.

Dari hasil percobaan diperoleh bahwa rataan diameter batang 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu sebesar 1.44 mm, dan terendah pada perlakuan M2 yaitu sebesar 0.75 mm. Ini menunjukkan bahwa media juga mempengaruhi pertumbuhn dan perkembangan batang, dimana pasir lebih memudahkan akar tanaman untuk tumbuh berkembang dikarenakan keadaan aerasi tanah yang baik. Hal ini sesuai dengan literatur Hasibuan (2006) yang menyatakan bahwa bila jumlah pasir tidak terlalu banyak pengaruhnya terhadap tanah akan baik karena cukup longgar, air akan mudah diserap dan cukup dikandung tanah, udara tanah mudah masuk dan tanah mudah diolah.





KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Persentase perkecambahan tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu 100% dan terendah pada perlakuan M2 yaitu 66.60%
2. Laju perkecambahan tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan M2 yaitu 4.5 hari dan terendah pada perlakuan M1 yaitu 3.33 hari
3. Rataan tinggi kecambah 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu 14.07 cm dan terendah pada perlakuan M2 yaitu 10.41 cm
4. Rataan diameter batang 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan M1 yaitu 1.44 mm dan terendah pada perlakuan M2 yaitu 0.75 mm
5. Media dan pulp berperan penting dalam perkecambahan dan pertumbuhan tanaman kakao

Saran
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sebaiknya dilakukan percobaan ataupun penelitian lebih lanjut.








DAFTAR PUSTAKA



Anonimous. 1996. Vademecum Kakao. PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). Bah Jambi-Pematang Siantar, Sumatera Utara-Indonesia.

Buckman, H.O. dan N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Hartmann, H.T., J. William, Klackers, M. Anton dan Konfafrek. 1981. Plant Science. Prentice Hall Inc. New Jersey.

Hasibuan, B.E. 2006. Ilmu Tanah. USU Press. Medan.

http://pustaka.unpad.ac.id/wp.../06/laporan_akhir_intani_dipa_2007.pdf. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kakao. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.

http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4kakao. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.

http://ksupointer.com/2009/tanaman-kakao. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.

Siregar, T.H.S., Slamet R., dan Laeli N. 2008. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Cokelat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Spillane, J.J. 1995. Komoditi Kakao Peranannya Dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.

Sunanto, H. 1992. Cokelat Budidaya, Pengolahan Hasil, dan Aspek Ekonominya. Kanisius. Yogyakarta.

Susanto, F.X. 1995. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Yogyakarta.

Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Kanisius. Yogyakarta.

Sutherland, J. A., 1972. Introduction to Tropical Agriculture. Third Edition. Mc – Hill Book Company. Sindey.

Zaenudin. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta.

pengaruh jumlah buku setek terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman tebu (Saccharum officinarum L.)

PENGARUH JUMLAH BUKU SETEK TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN
TEBU (Saccharum officinarum L.)



LAPORAN




OLEH :

JUNITA SINAMBELA/070301054
BDP-AGRONOMI
II











LABORATORIUM AGRONOMI TANAMAN PERKEBUNAN II
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
PENGARUH JUMLAH BUKU SETEK TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN
TEBU (Saccharum officinarum L.)


LAPORAN


OLEH :

JUNITA SINAMBELA/070301054
BDP-AGRONOMI
II

Laporan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Mengikuti Praktikal Test di Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan II Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan














LABORATORIUM AGRONOMI TANAMAN PERKEBUNAN II
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009


RINGKASAN PERCOBAAN
Percobaan ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut dimulai pada bulan September 2009 sampai November 2009. Judul dari percobaan ini adalah “Pengaruh Jumlah Buku Setek Tebu Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.)”.

Adapun metode percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan perlakuan jumlah buku setek, yaitu tanpa 2 buku (B1) dan 3 buku (B2). Parameter yang diamati pada percobaan ini adalah persentase mata melentis (%), tinggi tunas (cm) yang diamati seminggu sekali, dan diameter tunas (mm) yang diamati seminggu sekali.

Hasil yang diperoleh pada percobaan ini adalah rataan persentase mata melentis pada perlakuan B1 dan B2 yaitu sebesar 100%. Rataan tinggi tunas 5 MST tertinggi adalah pada perlakuan B2 yaitu sebesar 13,00 cm dan rataan tinggi tunas terendah adalah pada perlakuan B1 yaitu sebesar 10,33 cm. Rataan diameter tunas 5 MST tertinggi adalah pada perlakuan B2 yaitu sebesar 1,33 mm dan rataan diameter tunas terendah adalah pada perlakuan B1 yaitu sebesar 0,98 mm. Rataan jumlah daun 5 MST tertinggi adalah pada perlakuan B2 yaitu sebesar 3,67 helai dan rataan jumlah daun terendah adalah pada perlakuan B1 yaitu sebesar 3,33 helai.


RIWAYAT HIDUP

Junita Sinambela lahir pada tanggal 2 April 1989 di Medan. Anak pertama dari empat bersaudara. Anak dari Bapak P. Sinambela dan Ibu N. Manurung.

Adapun pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
SD Negeri 050721 di Gohor Lama Tamat tahun 2001
SMP Negeri 1 di Hinai Tamat tahun 2004
SMA Negeri 1 di Stabat Tamat tahun 2007

Penulis terdaftar sebagai mahasiswi di Departemen Budidaya Pertanian Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan melalui jalur SPMB pada pilihan pertama pada tahun 2007 sampai sekarang.
























KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.

Adapun judul dari laporan ini adalah “Pengaruh Media Tanam pada Perkecambahan Benih Kakao (Theobroma cacao L.)” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal test di Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan II Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Balonggu Siagian, MS, Ir. Sanggam Silitonga, MS dan Ir. Lisa Mawarni, MP selaku dosen mata kuliah Agronomi Tanaman Perkebunan II serta kepada abang dan kakak asisten yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2009



Penulis



DAFTAR ISI
RINGKASAN PERCOBAAN i

RIWAYAT HIDUP ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Percobaan 3
Kegunaan Percobaan 3

TINJAUAN PUSTAKA 4
Botani Tanaman 4
Syarat Tumbuh 6
Iklim 6
Tanah 6
Buku Setek Tebu 7

BAHAN DAN METODE 9
Tempat dan Waktu Percobaan 9
Alat dan Bahan 9
Metode Percobaan 9

PELAKSANAAN PERCOBAAN 11
Pengolahan Tanah 11
Pembuatan Juringan 11
Penyediaan Buku Setek 11
Penanaman 11
Pemeliharaan 12
Penyiraman 12
Penyiangan 12
Pengamatan Parameter 12
Persentase Melentis (%) 12
Tinggi Tunas (cm) 12
Diameter Tunas (mm) 12
Jumlah Daun (helai) 13
HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Hasil 15
Pembahasan 16

KESIMPULAN DAN SARAN 18
Kesimpulan 18
Saran 18

DAFTAR PUSTAKA































DAFTAR TABEL
No. Keterangan Hal.

1. Rataan Persentase Mata Melentis (%)
2. Rataan Tinggi Tunas (cm) 5 MST
3. Rataan Diameter Tunas (mm) 5 MST




































DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Hal.

1.








































DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Hal.

1. Persentase Mata Melentis
2. Rataan Tinggi Tunas (cm) 1 MST
3. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tunas (cm) 1 MST
4. Rataan Tinggi Tunas (cm) 2 MST
5. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tunas (cm) 2 MST
6. Rataan Tinggi Tunas (cm) 3 MST
7. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tunas (cm) 3 MST
8. Rataan Tinggi Tunas (cm) 4 MST
9. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tunas (cm) 4 MST
10. Rataan Tinggi Tunas (cm) 5 MST
11. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tunas (cm) 5 MST
12. Rataan Diameter Tunas (mm) 2 MST
13. Daftar Sidik Ragam Diameter Tunas (mm) 2 MST
14. Rataan Diameter Tunas (mm) 3 MST
15. Daftar Sidik Ragam Diameter Tunas (mm) 3 MST
16. Rataan Diameter Tunas (mm) 4 MST
17. Daftar Sidik Ragam Diameter Tunas (mm) 4 MST
18. Rataan Diameter Tunas (mm) 5 MST
19. Daftar Sidik Ragam Diameter Tunas (mm) 5 MST
20. Rataan Jumlah Daun (helai) 1 MST
21. Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun (helai) 1 MST
22. Rataan Jumlah Daun (helai) 2 MST
23. Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun (helai) 2 MST
24. Rataan Jumlah Daun (helai) 3 MST
25. Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun (helai) 3 MST
26. Rataan Jumlah Daun (helai) 4 MST
27. Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun (helai) 4 MST
28. Rataan Jumlah Daun (helai) 5 MST
29. Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun (helai) 5 MST











PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) telah dikenal dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Tanaman tebu telah dikenal di India sejak seribu tahun Sebelum Masehi. Nama Latin Saccharum yang diberikan Lnnaeus tahun 1753 berasal dari kata Karkara atau Sakkara dalam bahasa Sansekerta dan Prakrit yang berati kristal gula atau sirup yang berwarna gelap. Sehubungan dengan hal tersebut dan oleh ciri-ciri botaninya, kebanyakan peneliti memperkirakan bahwa daerah asal tebu adalah India Utara (Saccharum barberi, Jeswiet), Cina bagian Tenggara (Saccharum sinense, Roxb.) atau dari daerah Pasifik Selatan. Akan tetapi penelitian terakhir menyimpulkan bahwa tanaman tebu berasal dari pulau Irian lalu sejak 3000 tahun yang lampau menyebar ke kepulauan Indonesia dan Malaysia dan kemudian menyebar pula ke Indocina dan India. India adalah negara pertama yang membuat gula tebu (Setyamidjaja dan Husaini, 1992).

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan semusim, yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula. Tebu termasuk keluarga rumput-rumputa (Graminae) seperti halnya padi, glagah, jagung, bambu dan lain-lain (http://www.kppbumn.depkeu.go.id, 2009).

Tebu (bahasa Inggris: sugar cane) adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tnaman ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatera (http://www.wikipedia.org, 2009).

Tebu atau Saccharum officinarum termasuk keluarga rumput-rumputan. Mulai dari pangkal sampai ujung batangnya mengandung air gula dengan kadar mencapai 20%. Air gula inilah yang kelak dibuat kristal-kristal gula atau gula pasir. Di samping itu, tebu juga dapat menjadi bahan baku pembuatan gula merah (Tim Penulis, 2000).

Sebagai salah satu perbanyakan tanaman secara vegetatif, stek menjadi alternatif yang banyak dipilih orang karena caranya sederhana, tidak memerlukan teknik yang rumit sehingga dapat dilakukan oleh siapa saja. Stek didefinisikan sebagai suatu perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa bagian tanaman (akar, batang, daun, dan tunas) dengan tujuan agar bagian-bagian itu membentuk akar. Dengan dasar itu maka muncullah istilah stek akar, stek batang, stek daun, dan sebagainya. Definisi lain dari stek adalah salah satu cara pembiakan tanaman tanpa proses penyerbukan (generatif) tetapi dengan jalan pemotongan batang, cabang, akar muda, pucuk, atau menumbuhkannya dalam media padat atau cair sebelum dilakukan penyapihan (http://cerianet.agricultur,blogspot.com, 2009).

Penanaman tebu di Indonesia masih menggunakan setek dengan menggunakan setek dengan 3-4 mata tunas. Jenis-jenis bibit untuk penanaman tebu di daerah produksi dapat berupa rayungan, setek pucuk, dongkelan, deran dan sebagainya. Jenis bibit tebu yang secara komersil berumur 6 -7 bulan, panjangnya 1-3 meter dari pengkalnya. mata tunas tebu yang secara komersil masih baik dapat tumbuh sebagai bibit sehingga seluruh batang digunakan sabagai bibit (Munir, 1983).

Tanaman tebu memiliki tingkat produksi gula paling tinggi bila dibandingkan dengan tanaman lain dalam hal ini pemenuhan pokok pemanis. Tanaman tebu menjadi salah satu komoditi paling penting di suatu negara. Di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa, tanaman ini telah dikenal sebelum masehi (Lutany, 1993).

Tujuan Percobaan


Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh jumlah buku setek terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman tebu (Saccharum officinarum L.).

Hipotesis Percobaan


Ada pengaruh jumlah buku setek terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman tebu (Saccharum officinarum L.).

Kegunaan Percobaan
 Sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal test di Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan II Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
 Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.


TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Berdasarkan http://agro-budidaya.blogspot.com (2009) sistematika tanaman tebu adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Family : Poaceae
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum L.

Sebagai tanaman berbiji tunggal (monokotil) tebu berakar serabut. Akar-akar ini keluar dari lingkaran-lingkaran akar di bagian pangkal batang. Akar-akar ini tidak banyak bercabang-cabang dan hampir sama ukurannya. Dalam prakteknya karena ditanam dari bibit stek, maka pada saat bibit stek mulai tumbuh menjadi akar adventif (Setyamidjaja dan Husaini, 1992).

Tanaman tebu mempunyai sosok yang tinggi lurus, tidak bercabang, dan tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik, tinggi batangnya dapat mencapai 3-5 meter atau lebih. Kulit batang keras berwarna hijau, kuning, ungu, merah tua atau kombinasinya. Pada batang terdapat lapisan lilin yang berwarna putih keabu-abuan. Lapisan ini banyak terdapat sewaktu batang masih muda. Batangnya beruas-ruas dengan panjang ruas 10-30 cm. Batang bawah mempunyai ruas yang lebi pendek. Ruas batang dapat berbentuk tong, silindris, kelos, konis terbalik atau cembung cekung. Ruas batang dibatasi oleh buku-buku yang merupakan tempat kedudukan daun. Di setiap daun terdapat mata tunas berbentuk bulat atau bulat panjang. Mata tunas ini yang nantinya tumbuh menjadi bibit (Tim Penulis, 2000).

Daun muncul pada buku, pelepah menabung, melingkari batang; pada setiap kultivar ligulanya berbeda ada yang memita, mendelta, membulan sabit atau membusur; helaian meminta, menggulung pada kondisi kelembaban kritis (http://www.proseanet.org, 2009).

Bunga tebu merupakan bunga majemuk yang tersusun atas malai dengan pertumbuhan terbatas. Sumbu utamanya bercabang-cabang, makin besar makin kecil, sehingga membentuk pyramid. Panjang bunga majemuk 70-90 cm setiap bunga mempunyai 3 daun kelopak 1 mahkota, 3 benag sari, dan 2 kepala putik (Martin, 1991).

Bila tebu dipotong, akan terlihat serat-serat yang terdapat cairan manis. Serat dan kulit batang biasanya disebut sabut dengan persentase sekitar 12,5% dari bobot tebu. Cairannya disebut nira dengan persentase 877,5%. Nira terdiri dari air dan bahan kering. Bahan kering tersebut ada yang larut dan ada pula yang tidak larut dalam nira. Gula yang merupakan produk akhir dari pengolahan tebu terdapat dalam bahan kering yang larut dalam nira. Akan tetapi , bahan kering yang larut juga mengandung bahan bukan tebu. Jadi da-pat dibayangkan betapa kecilnya persentase gula dalam tebu (Tim Penulis, 2000).


Syarat Tumbuh

Iklim

Sesuai dengan daerah asalnya sebagai tanaman tropis, tanaman tebu tumbuh bak di daerah tropis, tetapi dapat pula ditanam di daerah subtropis sampai garis isoterm 20°C, yaitu pada kawasan yang berada di antara 39° Lintang Utara dan 39° Lintang Selatan (Setyamidjaja dan Husaini, 1992).

Daerah yang sesuai untuk pengembangan tanaman tebu adalah dataran rendah dengan jumlah curah hujan tahunan antara 1.500-3.000 mm. Selain itu penyebaran hujannya sesuai dengan pertumbuhan dan kematangan tebu (Tim Penulis, 2000).

Tanah

Tanaman tebu dapat ditanam pada tanah dengan sifat fisik yang berat maupun yang ringan, tanah vulkanik maupun tanah pasir. Tanah alluvial berat sampai agak berat dengan kandungan kapur yang cukup lebih baik untuk ditanami tebu dibandingkan dengan tanah pasir yang ringan. Walaupun demikian, tanaman tebu akan tumbuh lebih baik pada tanah bertekstur lempung-berliat, lempung-berpasir, dan lempung-berdebu (Setyamidjaja dan Husaini, 1992).

Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah tanah yang dapat menjamin ketersediaan air secara optimal. Selain itu, dengan derajat keasaman berkisar antara 5,7-7. Apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH di bawah 5,5 maka perakarannya tidak dapat menyerap air maupun unsur hara dengan baik. Sedangkan apaila pH berada di atas 7,5 maka akan sering mengalami kekurangan unsur P, karena mengendap sebagai kapur fosfat. Derajat keasaman di atas 7,5 juga dapat menyebabkan terjadinya klorosis pada daun, akibat dari tidak cukup tersedianya unsur Fe. Di samping kedua hal terserbut, ada beberapa syarat yang hrus dipenuhi untuk pertanaman tebu. Syarat-syarat tersebut adalah kedalaman efektif minimal 50 cm, tektur sedang sampai berat, struktur baik dan mantap, tidak terdapat lapisan padas, tidak tergenangi air, kadar garam kurang dari 1 milimush/cm3, kadar klor kurang dari 0,06%, serta kadar natrium kurang dari 12% (Tim Penulis, 2000).

Buku Setek Tebu

Perbanyakan tanaman tebu umumnya dilakukan dengan setek. Untuk perbanyakan ini, bibit tanaman yang dibutuhkan adalah bagian batangnya baik bagian pucuk, tengah, maupun pangkal batang. Untuk penanaman skala besar umumnya biasanya bibit diambil dari batang muda tanaman. Bibit batang muda ini harus dari yang masih muda berumur sekirat 5-7 bulan. Pada umur tersebut, mata-mata masih baik dan dapat tumbuh, dengan demikian seluruh batang tebu dapat diambil sekitar 3 setek. Jumlah tiap setek 2-3 tunas bibit batang muda (http://pengawasbenihtanaman.blogspot.com, 2009).

Perbanyakan vegetatif dengan setek mempunyai sifat-sifat unggul serta tidak terserang hama dan/atau penyakit. Selain itu, manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan status fisiologi tanaman sumber juga penting dilakukan agar tingkat keberhasilan stek tinggi (http://stf08.wordpress.com, 2009).

Bibit vegetatif juga memiliki beberapa kelemahan yaitu munculnya variasi somaklonal (somaclonal variation) pada proses perbanyakan di laboratorium yang dapat menyebabkan penyimpangan pertumbuhan fenotif dari sifat genetik tanaman induknya, penuaan dini (early maturation) yang timbul pada anakan hasil perbanyakan yang mengakibatkan penurunan tingkat pertumbuhan, berkurangnya kemampuan berakar, percepatan pembungaan hingga terjadi pembungaan pada awal-awal tahun pertumbuhan dan memiliki kecenderungan mengalami pertumbuhan ke samping (http://bpk-aeknauli.org, 2009).

Apabila dalam satu setek ini ada dua mata tunas atau lebih, yang ditanam secara horizontal dan mata terletak di kanan dan di kiri maka ternyata mata yang lebih muda (yang terletak lebih atas) akan tumbuh lebih cepat daripada mata yang lebih tua di sebelah bawahnya. Tentang panjang pendeknya setek yang akan ditanam pertumbuhannya tergantung pada kualitas bibit tebu, kondisi tubuh dan pemeliharaan sewaktu muda (Soetopo, 1994).

Stek (cutting) adalah suatu teknik mengusahakan perakaran dan bagian-bagian tanaman (cabang, daun, pucuk dan akar) yang mengandung mata tunas dengan memotong dari induknya untuk tanaman, sehingga akan diperoleh tanaman baru. Menurut bentuknya, setek dapat dibedakan menjadi beberapa bagian antara lain adalah stek akar, stek daun, stek batang, stek umbi dan stek pucuk. Perbanyakan secara stek akan diperoleh tanaman yang baru yang sifatnya seperti induknya. Stek dengan kekuatan sendiri akan menumbuhkan akar dan daun sampai dapat menjadi tanaman yang sempurna dan menghasilkan bunga dan buah (http://mlusmays.multiply.com, 2009).



BAHAN DAN METODE PERCOBAAN



Tempat dan Waktu Percobaan


Percobaan ini dilakukan di areal percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan yang berada pada ketinggian  25 m di atas permukaan laut. Percobaan ini dilakukan pada bulan Agustus hingga November 2009.

Bahan dan Alat Percobaan


Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah batang tebu (Sacharum officinarum L.) sebagai objek percobaan.
Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini adalah cangkul sebagai alat pengolah tanah, gembor sebagai alat penyiraman, jangka sorong untuk alat mengukur diameter batang, meteran sebagai alat ukur tinggi tanaman, alat tulis dan kertas untuk mencatat data pengamatan.

Metode Percobaan


Metode percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial, yaitu media tanam, dimana :
B1 : 2 buku
B2 : 3 buku
Jumlah blok : 3
Jumlah petak percobaan : 6
Jumlah batang setek per petak : 3
Jumlah seluruh batang setek : 18 benih
Bagan Percobaan



U




S





























PELAKSANAAN PERCOBAAN
Pengolahan Tanah
Lahan dolah dahulu agar tetap gembur, hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan aerasi dan drainase lahan

Pembuatan Juringan
Lahan yang sudah diolah kemudian dibuat juringan dengan panjang juringan 9 meter, lebar juringan 35 cm, kedalaman juringan 30 cm, jarak antara juringan 75 cm, jarak antar blok 50 cm lebar parit keliling 50 cm kedalam parit keliling adalah 40 cm. tanah dari juringan kemudian dinaikkan dari sisi juringan hingga terbentuk gelundungan.

Penyediaan Buku Setek
Disediakan buku setek yang akan ditanam, yaitu dua buku setek (B1) dan tiga buku setek (B2).

Penanaman
Setek yang sudah dipersiapkan kemudian ditananm didalam juringan secara horizontal. Setek disusun sesuai dengan yang telah dirancangkan.



Pemeliharaan
Penyiraman
Penyiraman dilakukan setiap hari, dengan melihat keadaan bila hari hujan tidak dilakukan penyiraman. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor.
Penyiangan
Penyiangan dilakukan bila ada gulma dalam juringan. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan cangkul atau mencabut dengan tangan setiap minggunya.

Pengamatan Parameter
Persentase Mata Melentis (%)
Persentase mata melentis dapat dihitung dengan rumus:
Persentase mata melentis =

Tinggi Tunas (cm)
Diukur dengan menggunakan meteran. Pengukuran dilakukan dari pangkal tunas sampai daun terpanjang. Tinggi tunas diukur seminggu sekali.

Diameter Tunas (mm)
Pengukuran diameter batang tunas dilakukan dengan jangka sorong yang dilakukan dua kali yaitu arah utara-selatan dan arah timur-barat. Jumlah pengukuran kemudian dibagi dua. Diameter tunas diukur seminggu sekali.

Jumlah Daun (Helai)
Jumlah daun mulai dihitung pada 2 MST sampai 5 MST dengan menghitung jumlah daun yang telah terbuka sempurna pada tunas tebu.









HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Persentase Mata Melentis (%)
Data persentase mata melentis dapat dilihat pada lampiran 1.
Perlakuan B1
Persentase mata melentis (%) =
= = 100 %
Perlakuan B2
Persentase mata melentis (%) =
= = 100 %
Persentase mata melentis terdapat pada perlakuan B1 dan B2 adalah 100%.

Tinggi Tunas (cm)
Data hasil pengamatan tinggi tunas 1 – 5 MST dapat dilihat pada lampiran 2, 4, 6, 8, 9, dan 10. Analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 3, 5, 7, 9, dan 11. Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan jumlah buku stek berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tunas 1 – 5 MST.



Data rataan tinggi tunas 5 MST dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Tinggi Tunas (cm) 5 MST
Perlakuan Blok Total Rataan
I II III
B1
B2 10.00
13.00 10.00
15.00 11.00
11.00 31.00
39.00 10.33
13.00
Total 23.00 25.00 22.00 70.00 23.33
Rataan 11.50 12.50 11.00 35.00 11.67

Dari Tabel 1 diketahui bahwa rataan tinggi tunas 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan B2 yaitu 13.00 cm dan terendah pada perlakuan B1 yaitu 10.33 cm.

Diameter Tunas (mm)
Data hasil pengamatan diameter tunas 2 – 5 MST dapat dilihat pada lampiran 12, 14, 16, dan 18. Analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 13, 15, 17, dan 19. Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan jumlah buku stek berpengaruh tidak nyata terhadap diameter tunas 2 – 5 MST.

Data rataan diameter tunas 5 MST dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Diameter Tunas (mm) 5 MST
Perlakuan Blok Total Rataan

I II III
B1
B2 1.01
1.20 0.90
1.30 1.03
1.50 2.94
4.00 0.98
1.33
Total 2.21 2.20 2.53 6.94 2.31
Rataan 1.11 1.10 1.27 3.47 1.16

Dari Tabel 2 diketahui bahwa rataan diameter tunas 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan B2 yaitu 1.33 mm dan terendah pada B1 yaitu 0.98 mm.

Jumlah Daun (helai)
Data hasil pengamatan jumlah daun dapat dilihat pada lampiran 20, 22, 24, 26, dan 28. Analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 21, 23, 25, 27, dan 29. Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan jumlah buku stek berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun 1 – 5 MST.

Data rataan jumlah daun 5 MST dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Jumlah Daun (helai) 5 MST
Perlakuan Blok Total Rataan

I II III
B1
B2 4.00
5.00 3.00
3.00 3.00
3.00 10.00
11.00 3.33
3.67
Total 9.00 6.00 6.00 21.00 7.00
Rataan 4.50 3.00 3.00 10.50 3.50

Dari Tabel 3 diketahui bahwa rataan jumlah daun 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan B2 yaitu 3.67 helai dan terendah pada B1 yaitu 3.33 helai.

Pembahasan
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh data untuk persentase mata melentis terdapat pada perlakuan B1 dan B2 adalah 100%. Dimana jumlah mata tunas belum tentu memberikan pertunasan yang banyak. Hal ini disebabkan kondisi lapangan yaitu iklim dan cuaca yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tunas tebu. Hal ini sesuai dengan literatur http://stf08.wordpress.com (2009) bahwa manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan status fisiologi tanaman sumber juga penting dilakukan agar tingkat keberhasilan stek tinggi.

Dari hasil pecobaan tinggi tunas tertinggi terdapat pada perlakuan B2 yaitu 13.00 cm dan terendah pada perlakuan B1 yaitu 10.33 cm. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan B2 mata tunasnya lebih muda dibandingkan pada B1. Hal ini sesuai dengan literatur Soetopo (1994) bahwa mata tunas yang lebih muda (yang letaknya lebih atas) akan tumbuh lebih cepat dari pada mata tunas yang lebih tua disebelah bawahnya.

Dari analisis rataan diperoleh rataan diameter tunas tertinggi terdapat pada perlakuan B2 yaitu 1.33 mm dan terendah pada B1 yaitu 0.98 mm. Ini mungkin disebabkan karena kualitas bibit tebu pada perlakuan B2 lebih baik dibandingkan pada perlakuan B1. Hal ini sesuai dengan literatur Soetopo (1994) bahwa pertumbuhan mata tunas yang akan ditanam tergantung pada kualitas bibit tebu, kondisi tumbuh, dan pemeliharaan tanaman.








KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Persentase mata melentis terdapat pada perlakuan B1 dan B2 adalah 100%.
2. Rataan tinggi tunas 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan B2 yaitu 13.00 cm dan terendah pada perlakuan B1 yaitu 10.33 cm.
3. Rataan diameter tunas 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan B2 yaitu 1.33 mm dan terendah pada perlakuan B1 yaitu 0.98 mm.
4. Rataan jumlah daun 5 MST tertinggi terdapat pada perlakuan B2 yaitu 3.67 helai dan terendah pada perlakuan B1 yaitu 3.33 helai.
5. Jumlah buku setek tebu berpengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tunas, diameter tunas, dan jumlah daun.

Saran
Sebaiknya penanaman setek tebu, bahan setek yang digunakan adalah setek yang sudah cukup umur dan berkualitas baik serta memiliki deskripsi tananam yang cukup jelas.



DAFTAR PUSTAKA
http://agro-budidaya.blogspot.com, 2009. Budidaya Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 2 Pages.

http://bpk-aeknauli.org, 2009 Budidaya Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 2 Pages.

http://mlusmays.multiply.com, 2009. Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 1 Pages.

http://stf08.wordpress.com, 2009 Budidaya Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 2 Pages.

http://www.cerianet-agriculture.blogspot.com, 2009. Budidaya Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 2 Pages

http://www.kppbumn.depkeu.go.id, 2009. Budidaya Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 2 Pages.

http://www.pengawasbenihtanaman.blogspot.com, 2009. Perbanyakan Tanaman Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 2 Pages.

http://www.proseanet.org, 2009. Budidaya Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 2 Pages.

http://www.wikipedia.org, 2009. Tebu. Diakses pada tanggal 28 September 2009. 1 Pages.

Lutany, T. L. 1993. Teori dan Cocok Tanam Tebu. Aneka. Bandung.

Martin, J. P., E. V. Abott., and G. Huges. 1991. Sugar Cane Diseases of The World. Elsier Company. Holland.

Munir, M. E. 1983. “Simanis” Penuntun Bercocok Tanam Tebu. Samudera. Jakarta.

Setyamidjaja, D., dan A. Husaini., 1992. Tebu Bercocok Tanam dan Pasca Panen. CV Yasaguna. Jakarta.

Tim Penulis. 2000. Budidaya dan Analisis Usaha Tani Tebu. Penebar Swadaya. Jakarta.